Kamis, 17 Desember 2009

Sepuluh Tahun Sudah Aku Ada Dalam Dakwah Ini

Liqo. Pertama kali dalam hidup saya mengikutinya pada tahun 2000. Ketika itu saya masih kelas 3 SMP. Berawal dari sebuah pengajian agama yang suka diadakan keluarga saya. Kami biasa belajar agama sekeluarga dengan mengundang seorang ustadz ke rumah. Pengajian, yang selanjutnya saya kenal dengan istilah liqo tersebut biasa kami adakan seminggu sekali setiap hari Ahad. Ustadz yang kami undang tidak lain adalah tetangga kami dekat rumah, suaminya teman pengajian ummi saya. Materi yang diajarkan sang ustadz pun menurut saya sangat umum. Intinya mengajarkan hal-hal yang sangat mendasar dalam Islam, tetapi justru sangat penting peranannya karena bisa dibilang seperti awal pondasi dalam suatu bangunan. Seperti misalnya bagaimana kita mengenal Tuhan, Rasul, makna dan esensi dalam kalimat syahadat, tauhid, shalat, zakat, shaum, dll. Tidak ada sesuatu yang saya anggap "spesial" (pada awalnya) dan hampir sama seperti pengajian-pengajian umum yang suka diadakan di masjid-masjid.

Hingga suatu saat, ustadz meminta kepada saya dan kedua orangtua saya agar mengikuti jenjang yang lebih dikhususkan lagi. Alasan ustadz saat itu, karena beliau menganggap seharusnya saya mendapatkan materi yang lebih mendalam. Karena saya bisa dibilang lebih cepat dalam menangkap apa yang dipelajari. Akhirnya, saya pun menambah jam ngaji saya dengan seorang ustadz yang lain, walaupun saya juga suka tetap ikut kalau ada jadwal pengajian di rumah.

Setelah beberapa kali mengikuti pengajian yang kata ustadz lebih disesuaikan proporsi materinya tersebut, saya merasa memang ada sesuatu yang berbeda dengan apa yang diajarkan di pengajian di rumah dengan di ustadz yang lain tersebut. Bahkan saya sempat merasa kaget ketika suatu saat ustadz mengatakan agar selalu merahasiakan segala apa yang diberikan selama pertemuan. Saya kaget bukan karena harus merahasiakannya. Tapi yang membuat saya kaget adalah, mengapa materi yang menurut saya, sebenarnya tidak rahasia-rahasia amat kok harus dirahasiakan. Bahkan ketika itu kelompok pengajian saya harus memasukkan semua sandal yang kami pakai ke dalam rumah sang ustadz, dan tidak membiarkannya tercecer di depan pintu rumah. Ketika saya tanya alasannya, waktu itu ustadz hanya menjawab, "supaya tidak mencolok kalau di rumah saya sedang banyak orang lagi ngaji."

Saya adalah tipikal orang yang cukup kritis. Jika ada sesuatu hal yang saya rasa tidak dapat saya terima, maka biasanya saya selalu meminta penjelasan tentang hal tersebut. Termasuk tentang keharusan menjaga rahasia kegiatan pengajian yang kami lakukan pada saat itu. Tapi karena ustadz saya dapat menjelaskan dengan baik, dan alasannya dapat saya terima, maka saya pun bersikap taat kepada beliau dan menjaga amanah itu dengan baik.

Begitulah liqo pada awal kemunculannya di permukaan yang saya kenal dan rasakan. Namun setelah kurang lebih satu tahun kemudian, tepatnya tahun 2001, kesan rahasia itu pun makin luntur. Ustadz menjelaskan pada saya bahwa sekarang sudah bukan era-nya lagi kita "sembunyi-sembunyi", sudah saatnya lebih banyak lagi orang yang kita ajak dalam dakwah ini. Itu pula alasan yang membuat saya berani untuk memposting tulisan ini.

Mungkin bagi sebagian orang ada yang bertanya-tanya mengapa dulu liqo diadakan secara sembunyi-sembunyi. Para kader dakwah yang baru terlibat dalam liqo setelah era keterbukaan itu pun mungkin hanya bisa mendengar alasan itu dari para murabbi / murabbiah mereka masing-masing, tanpa pernah merasakan suasana yang dulu dirasakan para pendahulu mereka. Pada mulanya, liqo dilakukan dengan sedikit tersembunyi atau tidak terlalu terbuka. Sekali lagi, maklum, sebab utamanya adalah Orde Baru dan kekuasaan yang tak menghendaki kekuatan lain tumbuh dan menguatkan diri. Tetapi, kian lama kegiatan-kegiatan liqo semakin terbuka, karena memang, tidak satu pun rahasia atau semacam agenda konspirasi yang dibahas dalam pertemuan-pertemuan semacam ini. Liqo membahas masalah-masalah pendidikan karakter dan pribadi, mengajak orang dalam kebaikan, dan berbagi pengalaman dalam konteks keberagamaan.

Sejak dicanangkannya keterbukaan bagi gerakan dakwah ini. Menurut pengamatan saya, gerakan ini semakin tumbuh dengan signifikan. Gerakan ini lah yang selanjutnya lebih dikenal dengan "Tarbiyah". Akhirnya, kampus, diakui atau tidak, menjadi semacam inkubator bagi proses gerakan Tarbiyah. Masa kuliah telah menjadi masa inkubasi bagi para aktivis dakwah Tarbiyah. Masjid-masjid kampus mulai makmur dengan kehadiran mereka, jilbaber-jilbaber pun kian tahun kian banyak ditemui di dalam kampus. Dan, yang paling signifikan adalah, tak hanya ilmu-ilmu eksakta dan humaniora yang mereka pelajari dari kampus-kampus tempat mereka kuliah, tapi juga ilmu-ilmu agama lewat daurah dan dakwah gerakan Tarbiyah.

Tak ayal, bahkan saya sendiri pun pernah dicap sebagai penganut "aliran menyimpang" hanya karena terlihat "berbeda" dengan kebanyakan masyarakat sekitar rumah. Pertentangan itu semakin nyata saya terima ketika saya menjadi ketua perkumpulan remaja masjid dekat rumah. Saya menggerakkan sekelompok pemuda di lingkungan rumah dalam kegiatan dakwah Tarbiyah ini. Mereka anak-anak muda yang berbasis di mushala dan masjid-masjid ini menciptakan ruang maya di tengah masyarakat. Mereka bisa menciptakan sebuah ruang kultural yang bisa dilihat, tapi sulit untuk dilacak dan dibuktikan eksistensinya. Masyarakat sempat dibuat bingung dengan anak-anak muda yang terus lahir, tumbuh, dan hidup di tengah-tengah mereka sendiri, tetapi berbeda ekspresinya dengan masyarakat kebanyakan.

Mereka terus bergerak, membangun pertumbuhan-pertumbuhan lewat liqo-liqo atau halaqoh yang setiap pekan rutin mengadakan pertemuan. Liqo dalam bahasa asalnya, Arab, berarti pertemuan, dan halaqoh adalah kelompok dari pertemuan itu. Tetapi, dalam komunitas Tarbiyah, kata tersebut digunakan untuk terminologi pertemuan dalam rangka pembinaan, baik tentang pemahaman Islam, moral dan akhlak, dakwah dan sosial maupun tentang pendidikan politik dan juga pemikiran.

Salah satu yang layak dicatat sebagai faktor penentu perkembangan dakwah gerakan Tarbiyah ini adalah semangat mereka untuk berbagi kebaikan, seluas mungkin, sebanyak mungkin. Para aktivis Tarbiyah tak menunggu sampai memiliki bertumpuk-tumpuk ilmu, beratus-ratus hafalan hadits atau berjuz-juz hafalan qur’an untuk berdakwah. Satu hadits yang mereka dapatkan dalam pertemuan mingguan, atau satu ayat yang mereka bahas dalam liqo akan segera mereka sebarkan dengan semangat berbagi kebaikan, berbagi ilmu, dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Mereka mencoba benar-benar mengaplikasikan sebuah hadits dan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, Balighu anni walau ayah. Sampaikan dariku walau hanya satu ayat.

Sekarang, sekitar sepuluh tahun sudah saya berkecimpung dalam dakwah ini. Cukup banyak transformasi atau perubahan yang saya rasakan selama perjalanan ini. Ada yang positif, tapi tidak sedikit juga yang negatif. Saya ingin menggaris bawahi, bahwa kalaupun ada yang negatif, saya percaya itu bukan dikarenakan dakwah ini yang salah, tapi lebih dikarenakan sikap dan pemahaman para kader pendakwahnya itu sendiri yang lemah. Saya tidak ingin mengevaluasi siapa pun secara lebih khusus, karena saya sendiri pun masih butuh banyak sekali evaluasi. Hanya saja perlu menjadi catatan bersama bagi kita yang sama-sama ingin dalam satu barisan berdakwah di jalan ini, sudah saatnya kita mengambil banyak pelajaran dari para pendahulu kita. Sebab boleh jadi hal buruk yang kita alami di masa sekarang masih belum ada apa-apanya dengan yang dialami pendahulu kita.

Teringat perkataan seorang umahat, ibu angkat saya, pernah berkata, "Dulu kami berjuang dan berkontribusi di tengah kesempatan yang sempit, sementara sekarang seharusnya para kader dapat bergerak lebih leluasa lagi. Oleh karena itu jangan pernah lalai dalam setiap kesempatan. Teruslah bergerak sampai hanya ada satu hal yang benar-benar dapat membuat kita berhenti bergerak dalam dakwah, itulah kematian."

Wallahu'alam...

HAPPY NEW YEAR!!! Tahun baru, semangat baru, prestasi baru! Selamat berjuang menjadi pribadi yg lebih berkualitas.

Minggu, 13 Desember 2009

Mengubah Cemburu Menjadi Energi Positif

Cemburu, dalam bahasa Arab dikenal sebagai ghoirah dan dalam bahasa Inggris disebut jealousy. Menurut saya, kalaupun seseorang merasakan perasaan tersebut merupakan suatu gejala yang fitrah, wajar, dan alamiah dari seseorang sebagai rasa cinta, sayang, saling memiliki, melindungi (proteksi) dan peduli satu sama lain.

Membicarakan hal yang satu itu, membuat saya teringat kisah-kisah asmara dan romantisme kehidupan keluarga Rasulullah bersama istri-istrinya dahulu. Dikisahkan, istri Rasulullah, Aisyah Radiallahuan pun pernah merasa cemburu kepada suaminya. Dalam sebuah riwayat pernah diceritakan. Pada suatu malam Aisyah pernah ditinggal Rasulullah. Aisyah menyangka bahwa Rasul sedang pergi ke rumah istri beliau yang lain. Kemudian oleh Aisyah diselidiki. Setelah diselidiki, ternyata Rasulullah sedang ruku atau sujud sambil berdoa: "Maha suci Engkau dan Maha Terpuji Engkau, tiada sesembahan yang benar melainkan Engkau. Maka Aisyah pun berkata: "Sungguh-sungguh Anda (Rasul) dalam keadaan satu keadaan (ibadah), sedang saya dalam keadaan lain (digoda oleh rasa cemburu)." Riwayat hadits ini shahih lho, diriwayatkan oleh Muslim: I/351-352; Abdul Baqi, An-Nasi'i VII/72, ath-Thayalisi 1405 dan lainnya.

Ah... tapi tunggu dulu, bukankah itu adalah kisah kecemburuan seorang Aisyah kepada Rasulullah? Seorang lelaki mulia yang memang telah sah menjadi suaminya. Memang, ketika perasaan cemburu itu datang, ia tidak pernah memandang apakah itu terjadi di antara sepasang suami-istri atau bukan. Rasa cemburu bisa datang dan dialami siapapun. Bahkan saya pun pernah merasa cemburu dan merasa dicemburui. Namun terkadang saya juga suka merenung. Sering terlintas dalam benak saya beberapa hal terkait perasaan yang satu itu. Seperti misalnya, apakah memang layak seseorang merasa cemburu kepada orang lain, sementara belum ada ikatan pernikahan satu sama lain. Berkaca pada kisah Aisyah dan Rasulullah di atas, saya menganggap wajar jika Aisyah merasa cemburu terhadap Rasulullah, sebab bukankah beliau memang suaminya. Ketika seorang pria dan wanita saling berikrar setia dalam suatu ikatan pernikahan, dimana Allah telah menjadi saksinya, maka secara otomatis kedua belah pihak (suami dan istri) seakan telah secara resmi melakukan transformasi hak atau kewenangannya satu sama lain. Maksudnya, sang wanita telah memiliki hak atas sang pria karena telah menjadi istrinya. Begitu juga sebaliknya, sang pria memiliki hak atas sang wanita, karena telah menjadi suaminya. Sehingga keduanya layak untuk cemburu ketika ada suatu hal atau kewenangan yang merasa telah terlanggar atas salah satu atau keduanya.

Pikiran semacam itu terkadang muncul karena bagi saya, pada kenyataannya, cemburu tidak jarang telah mendapatkan stigma dan konotasi yang selalu negatif sebagai bentuk ekspresi dan refleksi yang tidak pada tempatnya, saling curiga, dan sebagainya. Terlebih jika itu terjadi pada orang yang memang belum memiliki hak atas orang yang ia cemburui.

Saya dapat mengerti, bahwa perasaan itu datang dikarenakan kondisi kejiwaan dan pikiran yang dipicu oleh beberapa faktor. Tapi dari sekian banyak faktor, biasanya faktor cinta dan rasa ketertarikan lah yang paling utama menjadi pemicu. Lalu kalau sudah terjadi seperti itu, lantas apakah dilarang dalam agama? Menurut saya tidak menjadi salah jika kecemburuan itu ditempatkan sesuai pada tempatnya. Tidak secara berlebihan atau bahkan malah akan merugikan pihak-pihak tertentu yang sebetulnya tidak terkait atau berkepentingan. Dalam sebuah buku yang pernah saya baca (saya lupa judulnya), ditulis oleh Imam Ibnul Qayyim, beliau menganjurkan kepada para muslimah untuk meniru karakteristik bidadari surga yang berhati suci. Sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya: “dan untuk mereka di dalamnya terdapat istri-istri yang suci.” (QS. Al Baqarah: 25). Yaitu dengan membangun kejiwaan yang bersih dari perasaan cemburu yang tidak pada tempatnya. Terlebih jika cemburu itu ditujukan pada seseorang yang belumlah menjadi halal baginya.

Namun, sebenarnya tidak semua cemburu itu membawa kesengsaraan dan tidak terpuji. Sebab rasa cemburu merupakan suatu potensi kejiwaan yang bila dipakai dan dikelola pada tempatnya secara wajar justru akan menjadi kontrol positif dan bukan menjadi sikap negatif yang tidak produktif. Wanita yang paling mulia dan yang paling luhur cita-citanya adalah mereka yang paling pencemburu pada tempatnya. Maka sifat seorang beriman yang cemburu (ghoyyur) pada tempatnya adalah sesuai dengan sifat yang dimiliki oleh Rabb-nya. Siapa yang mempunyai sifat menyerupai sifat-sifat Allah, maka sifat tersebut akan membawanya ke dalam perlindungan Allah dan mendekatkan diri seorang hamba kepada rahmat-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat cemburu dan orang-orang beriman juga memilikinya. Adapun rasa cemburu Allah ialah ketika melihat seorang hamba yang mengaku dirinya beriman kepada-Nya melakukan sesuatu yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Nasa’i).

Nah... jadi untuk mengubah rasa cemburu itu menjadi kumpulan energi positif, mengapa tidak kita ubah saja perspektif kecemburuan itu menjadi lebih luas, tidak terbatas hanya pada cemburu yang berlatarbelakang perasaan cinta lawan jenis semata. Sebab jika cara pandangnya sempit, hanya berkutat karena masalah cinta saja, biasanya itu cenderung akan membawa pada kemudharatan daripada manfaat. Tidak sedikit mereka yang merasakan cemburu kepada orang yang ia cintai, pada akhirnya malah membawanya kepada perasaan benci, iri, dan dengki pada pihak ketiga yang mungkin saja sebenarnya dia tidak tahu apa-apa duduk permasalahan yang sebenarnya. Misalnya, ada seorang pria cemburu kepada wanita yang ia cintai, sementara mereka berdua bukanlah pasangan suami-istri. Sang pria cemburu karena ia memiliki perasaan bahwa wanita pujaannya itu merasa lebih tertarik pada pria lain dibanding dirinya. Akhirnya sang pria yang cemburu itu pun malah menjadi benci, iri, dan dengki pada pria yang "dikagumi" oleh wanita yang ia cintai tadi. Sementara pria yang dikagumi oleh wanita tadi, sebenarnya tidak memiliki kepentingan apa pun dalam hubungan mereka berdua, bahkan tidak pernah tahu tentang perasaan "kagum" dari sang wanita tadi.

Yang jelas, ketika ada seseorang yang merasa kagum atas orang lain, tentulah itu dikarenakan orang tersebut memiliki nilai lebih. Entah apa pun itu, yang pasti ia memiliki banyak hal yang postif dan mungkin jarang atau tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka mengapa perasaan cemburu itu tidak kita arahkan saja agar menjadi penyemangat kita supaya lebih baik dari orang yang memiliki nilai lebih tersebut. Secara hubungan antar sesama manusia, tidak ada yang lebih berperan terhadap kualitas diri seseorang melainkan diri orang itu sendiri. Lingkungan, keluarga, teman-teman, atau orang-orang terdekat dalam hidup mungkin bisa menjadi pendorong, tetapi pada akhirnya tetap kita sendiri yang harus berbuat dan mengambil keputusan, bukan?

Ikhlas lah ketika kita tahu ada orang yang lebih bernilai dari kita. Lalu jangan menjadi pencemburu kalau hanya berhenti sampai jadi pencemburu semata. Akan tetapi segera sambut rasa cemburu tadi dengan usaha keras yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas diri kita. Membuat kita jadi lebih bernilai dari orang lain. Bersikaplah cemburu kepada sifat-sifat positif dari orang lain, bukan pada pribadi orangnya. Sebab, kalaupun rasa cemburu itu bermula dan akhirnya bermuara kepada sebuah perasaan yang bernama cinta, pada hakikatnya seseorang tentu ingin mendapat yang terbaik bagi dirinya. Namun keinginan itu tentunya juga harus diimbangi dengan upaya yang dapat menjadikan dirinya seberkualitas seperti orang yang ingin dia dapatkan itu. Sangatlah tidak adil ketika seseorang menginginkan yang terbaik bagi dirinya, sementara ia sendiri tidak pernah berusaha membuat dirinya menjadi yang terbaik.

fesbuk saya ternyata gak bisa di-delete total euy. walaupun udah di-deactivate, ternyata masih bisa log in kembali. (-.-)"

Sabtu, 12 Desember 2009

Kamisama no Okurimono (Hidayah dari Tuhan)

Di masa-masa awal memasuki dunia kampus, hampir bisa dibilang tidak berhubungan sama sekali dengan sesuatu yang orang sebut sebagai "agama". Dan saat-saat pertama masuk kuliah pun saya masih selalu berpikir bahwa memang tidak ada urgensi (kepentingan) untuk mempunyai agama.

Pikiran itu berubah ketika saya masuk kuliah. Yakni ketika saya bergabung dengan klub pecinta alam. Saya berpikir, mungkin akan asyik bergabung dengan klub pecinta alam di universitas saya tersebut. Dalam klub ini banyak sekali mahasiswa luar negeri (antara lain dari Indonesia dan Thailand). Dan kebanyakan dari mahasiswa tersebut adalah pemeluk Islam (muslim). Akan tetapi hal itu tak mengubah penafsiran awal, bahwa memang tidak ada "kepentingan yang mendesak" untuk memeluk suatu agama bagi saya.

Dari anggota klub pecinta alam yang lain, saya banyak mengetahui tentang Islam dan kehidupan para muslim di sekitar saya. Saat itu saya tidak melihat agama Islam sebagai sebuah pilihan, akan tetapi saya berpikir bahwa semua agama itu sama. Begitulah, seperti sebelumnya saya tidak tertarik sama sekali menjadi anggota dari orang yang memeluk suatu agama. Banyak hal yang terdengar, dan saya hanya merespon ringan: "Oh begitu ya?" Tidak ada yang berbekas banyak di hati saya. Ibarat berjalan di atas pasir kering, telapak kaki tertinggal hanya beberapa saat saja. Ia akan hilang tertimbun bersama pasir lain.

Sampai suatu hari saya mengikuti sebuah diskusi "Tentang Keberadaan Tuhan". Hal yang amat membekas di dalam hati, dan entah kenapa saya menyetujui bahwa "Tuhan itu Esa". Dan tanpa saya sadari, kehidupan biasa saya pun menghadapi perubahan. Pada musim semi di tingkat dua, saya berkesempatan mengunjungi Indonesia selama satu bulan, menghabiskan libur musim panas. Saya menghabiskan masa liburan dengan berkunjung ke rumah tiga muslim teman kuliah saya. Di sinilah benih-benih hidayah Allah mulai terasa tumbuh di hati.

Kesan saya tentang Islam yang hanya sebatas harus shalat lima waktu dan susah mencari makanan halal itu, menjadi berubah. Di Indonesia, saya sangat terkejut karena tidak ada kesulitan untuk mencari makanan halal. Orang Indonesia bisa berbelanja di supermarket aneka barang yang halal dan dengan bebas. Sama sekali tidak susah.

Kesan saya terhadap masjid pun berubah. Semula bagi saya, masjid adalah tempat ibadah suci, tempat saya yang tak tersentuh, dan tentu, bukan bagian dari kehidupan saya. Tetapi begitu saya ikut teman ke masjid, saya merasa suasana yang berbeda dengan image awal tadi. Ternyata, saya melihat masjid menjadi tempat yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, termasuk diri saya. Suasana yang sebelumnya begitu jauh dari saya, terasa begitu dekat. Masya Allah... saya merasa bahwa Islam itu begitu dekat.

Seiring banyaknya pengalaman yang mendekatkan saya dengan agama Islam, ketika berada di Indonesia saat itu, membuat keinginan saya masuk Islam menjadi kuat. Maka saat itulah saya memutuskan untuk masuk Islam, dari hati terdalam. Mulanya ketika saya masuk Islam, saya hanya ingin disaksikan oleh teman-teman dekat saja. Tetapi skenario Allah SWT tidaklah demikian. Sewaktu kami tiba di masjid, di sana sedang diadakan pengajian umum. Para jamaah sepakat memutuskan agar saya bersyahadat setelah pengajian usai. Jadilah peristiwa saya masuk Islam disaksikan oleh banyak peserta pengajian. Saya pun berislam di tengah-tengah calon saudara seiman saya. Ya, banyak mata yang menyaksikan peristiwa sakral itu...

Dahulu saya berpikir bahwa masuk Islam adalah hal yang sangat sulit. Namun saat saya berikrar menjadi muslim dengan bersyahadat, semua begitu mudah dan cepat! Dalam hati sempat bertanya tak yakin, "Benar nih, saya sudah masuk Islam?" Setelah selesai bersyahadat, semua peserta pengajian menghampiri dan memberikan selamat kepada saya. Salam dan pelukan sebagai ungkapan selamat, datang dari hadirin mendekap saya hangat. Di situlah akhirnya yakin bahwa saya sudah menjadi muslim. Alhamdulillah... Allahu Akbar.

Perasaan saya saat itu, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, haru biru meletup di kalbu. Tak terasa air mata mengalir begitu saja. Saya sadari, hanya  karena Allah Ta'ala saya bisa menjadi pengikut Rasulullah SAW. Alhamdulillah... sungguh saya bersyukur kepada Allah, mendapatkan karunia ini. Bahagia tiada terperi.

Sekembalinya saya di Jepang, sambil bertanya kepada teman-teman muslim di kampus, sedikit demi sedikit saya mulai belajar tentang agama Islam. Banyak kekhawatiran saya ketika mempelajari tentang agama ini. Namun satu persatu saya coba tempuh. Sekarang saya sangat bersyukur bisa menjadi muslim; pemeluk agama Islam. Dalam Al-Quran yang mulia itu Allah telah menyebutkan keberuntungan ini. "Hai orang-orang yang beriman, dan janganlah sekali-kali kamu  mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali-Imran: 102).

Sekarang saya sudah berkeluarga, telah menikah dengan seorang istri yang juga teman muslim di masa kuliah dulu. Berkah pun bertambah ketika dua putra dan seorang putri cantik telah hadir menemani kami. Berkat dukungannyalah saya bisa hidup di Jepang sebagai seorang muslim hingga hari ini. Walau saya tidak pernah mengungkapkannya dalam kehidupan sehari-hari, lewat forum ini saya ucapkan "Sungguh terima kasih atas dukunganmu belahan hidupku, istriku, Dewi."

*****

Catatan di atas adalah cerita pengalaman berislamnya pak Takanubo Muto, mualaf dari Jepang, yang disampaikan lalu diterjemahkan oleh mbak Rakhma Kumala Dewi (istri pak Takanobu Muto), dan dilengkapi oleh mbak Rose FN, dalam Hikari no Michi.

Rabu, 09 Desember 2009

Kuhamparkan Sajadahku di Negeri Samurai

Hidup sebagai seorang muslim di negara yang mayoritas penduduknya muslim, terkadang membuat muslim di negara tersebut kurang menyadari kenikmatan mereka dalam berislam. Mengapa begitu? Betapa tidak, segala fasilitas yang mendukung peribadatan maupun keperluan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang muslim begitu mudah didapatkan. Masjid ada di mana-mana. Masjid satu dengan masjid lainnya terkadang bahkan hanya dipisahkan oleh jarak yang tidak lebih dari 100 meter saja. Musholla bisa ditemui hampir di setiap tempat dan sarana umum. Ruang dakwah begitu terbuka lebar. Kita bisa dengan sangat mudah menemukan tempat-tempat pengajian. Segala kemudahan-kemudahan tersebutlah yang terkadang membuat seorang muslim menjadi tidak begitu menyadari bahwa semua itu merupakan bentuk nikmat yang Allah berikan.

Namun, kondisi seperti itu akan sangat berbanding terbalik dengan kehidupan para muslim yang ada di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Terlebih lagi bagi sebuah negara yang bernama Jepang. Jangankan yang penduduknya pemeluk agama selain Islam, tetapi justru yang namanya "agama" di negeri sakura nampaknya bukan sesuatu yang dianggap penting oleh penduduknya sendiri. Mungkin bagi teman-teman hal seperti itu bukan suatu hal yang wajar. Di mana setiap orang bisa sangat bebasnya menganut pemahaman bahwa agama bukan suatu hal yang penting. Tapi bagi masyarakat Jepang, hal tersebut memang sudah menjadi anggapan yang sangat umum. Oleh karena itu, jangan langsung percaya ketika ada orang Jepang yang memakai simbol-simbol agama tertentu dalam cara berpakaian mereka. Sebab itu belum tentu menggambarkan agama sebenarnya yang dia anut.

Sebagai contoh saja, ada seorang teman nihon jin yang se-kampus dengan saya saat itu, mengenakan kalung salib di lehernya. Saat itu yang ada dalam pikiran saya adalah langsung menebak bahwa dia seorang Nasrani. Tapi kemudian saya dibuat bingung ketika suatu hari dia pernah bercerita pada saya, bahwa dia baru saja mengikuti upacara dalam agama Shinto. "Lho... bagaimana bisa seseorang bisa memiliki dua agama sekaligus?" Begitulah pertanyaan yang ada di dalam benak saya. Tetapi setelah saya tanyakan, ternyata dia sendiri mengaku tidak punya agama. Kalung salib yang dia pakai tidak lebih hanya sebagai mode fashion semata, sedangkan Shinto hanya ia anggap sebagai suatu tradisi yang perlu ia jaga. Terus terang saja, pada awalnya saya dibuat bingung dan terkejut oleh perilaku teman saya tersebut. Tapi lama kelamaan, setelah saya bergaul dengan lebih banyak lagi orang Jepang, akhirnya saya menyadari bahwa sikap seperti itu memang sangat umum bagi masyarakat Jepang.

Ketika saya menginjakkan kaki untuk kedua kalinya di bumi Sakura, tahun 2005 yang lalu, saya tidak begitu menyadari "keanehan" seperti yang saya ceritakan di atas. Saya tahu bahwa Jepang adalah negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Hal lain yang saya tahu, Jepang adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Shinto atau Buddha. Walaupun sebelumnya saya pun pernah mendengar cerita dari ayah saya bahwa sebenarnya banyak orang Jepang yang tak beragama. Akan tetapi saat itu saya tidak langsung percaya. Saya baru percaya setelah akhirnya semua itu saya alami dan rasakan sendiri.

Dulu, sebelum keberangkatan ke Jepang, saya pernah punya sebuah tujuan yang saya anggap lebih mulia daripada sekedar menuntut ilmu di negeri Samurai itu. Tujuan mulia itu adalah tentu saja dakwah. Ikut ambil bagian dalam mensyiarkan agama Islam yang mulia di Jepang. Niat yang sejak awal begitu menggebu-gebu tersebut, akhirnya lama kelamaan harus banyak terbentur dengan segala keterbatasan. Persiapan mental yang sudah saya lakukan sebelum keberangkatan ternyata harus dihadapkan pada sebuah kenyataan betapa sulitnya menjadi seorang muslim di Jepang. Jangankan untuk berdakwah pada masyarakat Jepang, untuk memenuhi kebutuhan beribadah diri sendiri saja saat itu cukup menyulitkan.

Ketika di Indonesia, saya berusaha membiasakan diri untuk shalat tepat pada waktunya. Terkadang kalau sedang dalam perjalanan atau di luar rumah, dan saat itu sudah masuk waktu shalat, biasanya saya sempatkan untuk mencari masjid terdekat yang ada di sekitar tempat saya berada untuk shalat. Tetapi hal seperti itu hampir tidak dapat saya lakukan selama di Jepang. Rutinitas sebagai kenkyusei saat itu mengharuskan saya banyak bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Sewaktu-waktu saya harus mencari literatur dari satu perpusatakaan ke perpustakaan lain. Berpindah lab dari satu lab ke lab lain, dan seterusnya. Ada kalanya ketika sedang dalam perjalanan, tiba waktu shalat. Dalam kondisi seperti itu, tentu bukan suatu hal yang mudah untuk mencari tempat shalat seperti di Indonesia. Jangankan masjid, musholla saja tidak ada.

Kalau sudah dalam kondisi seperti itu, pada awalnya saya suka meng'qodo shalat. Walaupun sebenarnya dalam hati ada juga perasaan bersalah ketika saya meng'qodo shalat. Karena menurut saya, perjalanan yang saya tempuh tidak begitu jauh. Apalagi dengan sistem transportasi di Jepang yang sudah sangat tertib dan nyaman. Baik chikatetsu ataupun densha, semua jam perjalanannya sudah terjadwal dengan baik dan dijamin tidak akan terlambat. Sehingga memungkinkan bagi kita untuk memperhitungkan waktu perjalanan tanpa harus khawatir terlambat karena kendala transportasi seperti mogok atau macet. Saya khawatir kondisi saya pada saat itu tidak cukup dijadikan alasan untuk meng'qodo shalat. Dan jika sudah seperti itu, maka tidak ada cara lain selain tetap shalat walaupun bukan di tempat yang selayaknya untuk shalat.

Oleh karena itu, mulai saat itu saya selalu membawa sajadah yang saya simpan dalam ransel ke manapun saya pergi. Pengalaman pertama ketika saya harus shalat di tempat umum adalah ketika sedang jalan-jalan di sebuah koen. Saat itu sudah tiba waktu dzuhur. Sedangkan saat itu kondisinya sepertinya tidak memungkinkan jika saya harus shalat di masjid atau musholla. Karena di dekat sana tidak ada masjid atau musholla. Akhirnya saya putuskan untuk shalat di tempat itu juga. Saya berwudhu di toilet yang ada di tempat tersebut. Kemudian saya cari tempat yang bersih, tidak di tengah keramaian orang, dan memungkinkan untuk melakukan shalat dengan tenang. Setelah mengamati lingkungan sekitar, akhirnya dapat juga tempat yang cukup nyaman. Tempatnya di belakang papan besar yang bergambarkan peta lokasi koen tersebut. Saya hamparkan sajadah dan memulai shalat di sana.

Setelah sampai pada rakaat kedua, saya lihat di depan ternyata ada seorang anak kecil yang terus saja memperhatikan saya sambil menunjuk-nunjuk ke arah saya. Anak itu tetap saja terlihat walaupun saya sudah menundukkan pandangan ke tempat sujud. Karena merasa terganggu, maka saya pun menutup mata dan terus saja shalat. Tak lama kemudian ternyata anak itu datang lagi, kali ini dengan ibunya. Ternyata dia malah mengajak ibunya untuk melihat gerakan shalat yang saya lakukan. Walaupun tahu bahwa saya tengah jadi objek tontonan bagi mereka, saya berusaha tidak mempedulikan keberadaan mereka dan tetap shalat.

Karena terus merasa diawasi, akhirnya saya terus shalat sambil menutup mata sampai selesai. Setelah selesai dan mengucapkan salam, saya baru membuka mata, dan saya dapati mereka berdua ternyata sudah tidak ada di hadapan saya. "Alhamdulillah sudah shalat, lega..." Gumam saya dalam hati. Segera saja saya lipat sajadah dan memasukkannya kembali ke dalam ransel.

Ketika saya keluar dari balik papan peta lokasi yang besar itu, ternyata anak kecil dan ibu itu masih ada di bagian depan papan. Saya pun tersenyum pada mereka berdua. Ketika saya hendak pergi, sang ibu malah memanggil saya.

"Maaf, apakah saya bisa bertanya sedikit?" Kata si ibu.

"Oh... silahkan, ada apa?" Jawab saya.

"Begini, perkenalkan ini anak saya, namanya Taro, dia tadi bertanya pada saya tentang yang Anda lakukan di balik papan tadi, saya tidak bisa menjawabnya, tapi Taro sangat ingin tahu apa yang Anda lakukan. Saya khawatir memberikan jawaban yang salah pada anak saya. Jadi bisakah Anda menjelaskan gerakan apa yang Anda lakukan tadi di balik papan itu?" Tanya sang ibu.

Saya pun tersenyum mendengar pertanyaan si ibu tadi. Lalu saya jawab, "Tadi saya sedang shalat."

"Shalat? apa itu shalat?" Ibu itu balik bertanya dan nampak kesulitan menyebutkan kata "shalat" dengan lidah Jepangnya.

Kemudian saya berusaha menjelaskan kepada ibu tersebut semampunya yang saya bisa. Saya katakan bahwa shalat adalah ibadah yang harus dilakukan oleh orang beragama Islam, sama seperti ketika ibu melakukan upacara Shinto. Si ibu pun akhirnya mengerti apa yang tadi saya lakukan dan dia pun menjelaskan pada anaknya seperti yang saya katakan.

Begitulah... menyikapi perlakuan seperti itu memang dibutuhkan sikap yang hanif (lurus) dan ahsan (baik). Sebab anggapan mereka yang menyatakan bahwa shalat adalah gerakan-gerakan yang aneh, boleh jadi dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang shalat itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang bijaksana dari kita sendiri untuk menghadapinya. Jangan sampai perlakuan seperti itu malah menjadikan kita malu untuk shalat di tempat umum jika memang sudah waktunya shalat. Sebab semakin sering orang Jepang (nonmuslim) melihat kita shalat, insya Allah lama kelamaan mereka pun akan semakin mengerti akan keharusan tersebut.

Ini hanya sebuah catatan kecil yang ingin saya sampaikan pada teman-teman semua. Pada intinya, janganlah karena suatu alasan yang tidak terlalu mendesak, maka kita melalaikan shalat. Shalat bisa di mana saja dan kapan saja, tentunya selama memenuhi syarat sahnya shalat. Jadi bersyukurlah bagi kita yang hidup di negara mayoritas muslim. Di mana berbagai kemudahan fasilitas beribadah bisa kita dapatkan. Tidak seperti saudara-saudara kita yang saat ini tengah hidup sebagai muslim di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

*****

Kamus mini:

1. Nihon jin : Orang Jepang asli
2. Senpai : Senior / kakak kelas
3. Kenkyusei : Mahasiswa riset
4. Chikatetsu : Kereta bawah tanah (subway)
5. Densha : Kereta rel biasa
6. Koen : Taman kota

Selasa, 08 Desember 2009

Bulan Desember... bulan dimana orang-orang terdekat dalam hidupku banyak yang ulang tahun. Biarin ngabisin duit banyak buat beli kado juga. Yang penting mereka senang! Hohoho...

Kuil Ryohoji, Sebuah Kuil Shinto Bergaya Anime




Entah karena anak muda di Jepang sudah pada malas untuk pergi ke kuil/ vihara (temple) atau karena alasan lain, sebuah vihara yang berada di Tokyo, Jepang sedikit merubah penampilannya.

Untuk lebih menarik anak muda disana, Ryohoji Temple yang dibangun pada abad 16, telah menggabungkan unsur anime yang sangat digemari para Otaku (penggila anime/ teknologi).

Mereka memasang papan iklan dengan gambar anime bahkan membuat web yang sangat bernuansa anime untuk menarik para generasi muda untuk datang.

Di setiap akhir minggu, mereka juga menggelar bazar yang juga berbau anime dan dari semua kerja keras tersebut, ternyata saat ini, Ryohoji Temple sudah mulai banyak dikunjungi para anak muda, terutama bagi para pecinta anime. :-)

Perkembangan sebuah kuil yang mencoba mengikuti jaman bukan saja baru kali ini terjadi sebelumnya kami juga pernah membahas tentang sebuah kuil di Jepang yang akan “memberkati” gadget supaya terhindar dari malapetaka. :-)

Sumber foto & berita ada di: http://ryohoji.jp/top.html

Workshop Kepenulisan Kerjasama FLP Jepang - PPI Kyoto

Start:     Dec 19, '09 09:00a
Ingin tahu bagaimana teknik menulis karya fiksi/nonfiksi? ingin tahu juga bagaimana cara agar karya kita bisa menembus media?

FLP Jepang dan PPI Kyoto dengan bangga mempersembahkan workshop Kepenulisan. Kami mendatangkan pembicara dari Indonesia, Asma Nadia (Penulis novel dan cerpen ternama) dan Clara Rondonuwu (Redaktur Media Indonesia). Adapun pelaksanaannya :

Tanggal : 19- 20 Desember 2009
Tempat : Wood Composite Hall, Kyoto University-Uji Campus.
Waktu : 9:00 ~ 19:00
Biaya : Gratis (bento makan siang atau malam optional, 1 box =500 yen)


untuk detail informasi bisa diklik http://www.ppi-kyoto.org/index.php?option=com_content&view=article&id=866&Itemid=391

Ayo buruan daftar!

Kontak:
Lisman Suryanegara (08053596839, l_suryanegara(at)yahoo.com)
Sunu Hadi (09044291137, lazuardi_fuma(at)yahoo.com)

Rabu, 25 November 2009

Dalam tulang mayat seseorang ternyata masih menyimpan sumber DNA yang banyak tentang orang tersebut. Lalu mungkinkah kita bisa mengkloning orang mati tersebut menjadi individu baru yang hidup dengan fenotipe yang 99 % mirip? Wow... sebuah kajian bioteknologi yang menarik untuk diteliti.

Pengalaman Konyol Selama Tinggal di Jepang (bagian 3)

Saat hendak memasuki musim dingin di Jepang seperti sekarang ini, dimana suhu udaranya sangat menusuk tulang, saya jadi teringat beberapa pengalaman yang konyol yang pernah saya alami. Mengakhiri musim gugurnya di bulan November, Jepang akan segera memasuki musim dingin. Di musim dingin ini, salju akan turun di beberapa daerah tertentu seperti daerah utara Jepang atau daerah-daerah di sebelah barat seperti Fukui, Ishikawa, Toyama, dan Niigata yang menghadap ke Laut Jepang. Daerah-daerah itu dipisahkan dengan daerah lainnya oleh gunung-gunung tinggi. Di daerah ini, biasanya salju akan menumpuk sampai ketebalan 50 cm lebih. Sebaliknya, daerah di sisi Samudera Pasifik, lebih hangat dengan langitnya yang senantiasa cerah. Suhu di daerah Tokyo pada musim ini rata-rata berkisar 5 derajat Celsius, sedangkan di daerah utara seperti Hokkaido bisa sampai 0 derajat Celcius, bahkan di bawahnya.

Alasan-alasan seperti itulah yang biasanya membuat masyarakat Jepang, terutama yang ada di daerah ekstrim memiliki budaya yang unik untuk beradaptasi dengan cuaca yang buruk seperti itu. Jepang punya suatu budaya mandi yang disebut "onsen". Orang Jepang punya kebiasaan mandi tidak menggunakan gayung dan menyiram tubuh dengan air yang ada di bak mandi, atau menggunakan shower seperti kita orang Indonesia. Kalau mandi, orang Jepang lebih suka berendam di sebuah bak yang disebut "ofuro". Mereka biasanya akan berendam setiap sore atau malam ketika pulang kerja atau aktifitas seharian. Mereka suka berendam di dalam ofuro yang sudah ada air hangat di dalamnya.

Apalagi ketika akan masuk musim dingin seperti sekarang ini, biasanya orang Jepang akan ramai-ramai mengunjungi tempat-tempat pemandian umum untuk berendam air hangat langsung di sumber mata air yang hangat. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas tadi, orang Jepang punya sebuah budaya mandi di sumber air hangat yang disebut "Onsen". Onsen menjadi kenikmatan tersendiri bagi masyarakat Jepang terutama di musim dingin. Saat itu, tempat-tempat pemandian umum akan sangat ramai didatangi warga.

Saya sebagai mahasiswa asing waktu itu pun lumayan penasaran juga sama yang namanya "onsen". Tak lama kemudian kebetulan Yoshida, teman sekaligus tetangga kamar saya di asrama mengajak untuk pergi ke tempat pemandian. Waktu itu yang ada di bayangan saya adalah sama seperti tempat-tempat pemandian air hangat seperti yang ada di Indonesia. Kita bisa berendam di dalam kolam yang dialiri air hangat langsung di kaki pegunungan. Wah... sepertinya menarik sekali. Apalagi waktu itu adalah musim dingin yang pertama kali saya rasakan setiba di Jepang. Rasanya lumayan sulit juga untuk beradaptasi dengan udara sedingin itu. Walaupun saya juga sudah pernah merasakan suhu udara dingin di beberapa tempat camping di Indonesia, tapi suhunya masih kalah ekstrim dengan yang saya rasakan di Jepang pada waktu itu. Oleh karena itu saya putuskan untuk pergi bersama Yoshida dan Ando (teman sekamar saya, karena saat tinggal di asrama, satu kamar diisi oleh 2 orang). Tadinya kami akan pergi berlima, dengan 2 orang lagi adalah teman saya sesama orang Indonesia yang sedang studi S2 di Kyodai, tapi mereka menolak tidak mau ikut dengan alasan sedang banyak tugas. Tapi anehnya, ketika saya tawari untuk pergi bersama, mereka kok malah tertawa cekikikan. Tapi pas saya tanya alasannya kenapa sih kok malah ketawa? Mereka bilang "tidak ada apa-apa kok, sudah pergi aja sana!". Lho... saya pikir, aneh dan mencurigakan juga nih.

Akhirnya kami bertiga pergi dari Shugakuin ke tempat pemandian. Kami naik JR (Japan Railway) lalu dilanjutkan dengan shuttle bus ke lokasi pemandian. Tak lama, kami pun tiba di lokasi. Keadaan tempat pemandian saat itu ramai sekali, karena waktu itu hari libur. Banyak anak-anak bersama ayah dan ibunya yang pergi bersama ke tempat itu. Beruntung sekali Ando mau mentraktir kami bertiga untuk membayar tiket masuknya. Lalu kami pun mengantri untuk membeli tiket masuk.

Setelah cukup lama mengantri karena kondisinya waktu itu ramai sekali, akhirnya kami pun bisa masuk ke lokasi pemandian. Setelah masuk pintu utama, kami langsung menuju ke ruang ganti. Ada dua ruang ganti utama, untuk pria dan wanita. Setelah lewat pintu masuk, yang laki-laki belok ke lorong sebelah kanan, sedangkan yang wanita belok ke kiri, tak peduli apakah mereka satu keluarga baik ibu dengan anaknya atau ayah dengan anaknya, yang jelas selama jenis kelaminnya berbeda harus berpisah sampai di lorong itu. Hmmm... sampai sana saya cukup takjub juga. Ternyata sampai sebegitu ketatnya peraturan di sana. Tapi di lain pihak mengundang kecurigaan juga, kenapa sampai sebegitunya?

Saya, Yoshida, dan Ando masing-masing memesan kamar ganti. Tak lama kemudian Ando dengan suaranya yang nge-bass mengetuk pintu kamar ganti saya.

"tok..tok..tok... Dimas-san... Dimas-san... kamu sudah selesai?" (percakapan ini, juga seluruh percakapan lainnya dalam tulisan ini sebenarnya menggunakan Bahasa Jepang, supaya tidak repot menerjemahkan jadi sudah saya terjemahkan ke Bahasa Indonesia).

"oke.. oke.. sebentar lagi.." jawab saya.

Setelah mengganti pakai celana renang dan mengemasi seluruh barang ke dalam ransel, saya pun bergegas keluar kamar ganti.

"Oh My Goooddd!!!" Betapa terkejutnya saya melihat Ando dalam keadaan telanjang bulat tanpa pakaian sedikitpun.

"Ando-saaaannn... apa kamu gila tidak pakai pakaian begitu?" Teriak saya ke Ando dengan nada penuh keheranan.

"Hahaha..." Ando malah tertawa.

"Hey... cepat pakai celananya". Saya kembali teriak ke Ando.

Lalu tak lama kemudian, Yoshida datang menghampiri kami berdua.

"Ada apa kalian ini?" tanya Yoshida.

Saya langsung menengok ke arah suara Yoshida yang tepat ada di belakang saya.

Owww tidaaakkkk!!! Ternyata Yoshida juga telanjang, pemirsa!

Waduuuhhh.... ini orang-orang pada kenapa?" tanya saya dalam hati.

Kemudian Yoshida menjelaskan, "Hey Dimas-san, kalau mau mandi di sini ya memang harus telanjang. Tidak boleh pakai celana atau pakaian apa pun. Memang begitu aturannya."

"Haahhh???  Apa kamu bercanda? Yang benar saja, masak ada aturan seperti itu?" tanya saya tidak percaya.

"Iya memang begitu aturannya, memangnya kenapa? Kamu tidak bisa?" Jawab Ando.

Ah... tapi saya tidak percaya dengan yang dikatakan Ando dan Yoshida. Tadinya saya malas dan ingin pulang saja. Tapi sayang juga sudah jauh-jauh ke sini kalau terus pulang. Akhirnya saya putuskan untuk pergi ke pemandian dengan mereka berdua. Tapi saya masih mengenakan celana renang saat itu. Saya berjalan di depan mereka berdua, karena rasanya nggak banget deh ngelihatin mereka berdua telanjang dari belakang.

Sesampainya di pintu masuk pemandian, saya lihat memang banyak orang di sana, dan semuannya telanjaaaang!!! Ya Allah... eneg banget ngelihatnya!!! Dari mulai anak-anak, bapak-bapak, sampai kakek-kakek semuanya telanjang!

Haduh... langsung ill feel rasanya waktu itu. Saya langsung teringat dengan 2 teman saya yang sewaktu diajak tadi langsung menolak. Pantas saja mereka menertawai saya, ternyata mereka sudah tau kalau mau mandi onsen itu memang harus telanjang. Seberapa ngototnya kita untuk pakai celana sekalipun pasti akan dilarang oleh petugasnya. Tapi mereka tidak mau memberi tau saya sewaktu masih di asrama tadi. Huh... memang dasar itu mereka berdua mau ngerjain saya tuh!
Dan benar saja, setibanya di pintu masuk kolam pemandian, saya langsung diingatkan oleh penjaga pemandian agar melepaskan celana saya. Pastinya saya tidak mau lah. Tapi si penjaga itu berkeras juga meminta saya melepaskan celananya. Kemudian saya coba tanya ke petugas itu alasannya kenapa semua pengunjung tidak boleh berpakaian kalau mau masuk kolam? Tapi si penjaga hanya menjawab, "itu sudah budaya". Ya Allah... masak ada sih budaya kayak begitu?" tanya saya dalam hati.

Karena suasananya yang memang sudah tidak enak lagi, maka saya memutuskan untuk pulang saja. Saya pamit ke Ando dan Yoshida, bilang bahwa saya tidak jadi berendam. Yah tau sendiri lah... masak harus telanjang? No Way..!!!

Lalu karena mereka berdua merasa kasihan, akhirnya mereka pun sama-sama tidak jadi berendam. Tapi sepanjang jalan saya jadi objek ledekan mereka berdua. Bagi mereka sikap saya itu aneh, dan menurut mereka telanjang di onsen itu biasa. Walah... nggak ngerti saya bagaimana cara berpikirnya mereka atau orang Jepang yang lainnya. Walaupun antara laki-laki dan perempuan tempatnya dipisah, tapi kan tetap saja risih. Hiiii.... nggak deh! Mulai saat itu saya kapok tidak akan pergi ke pemandian air hangat lagi.

*) Bagi yang belum baca bagian 1 - 2, link-nya ada di bawah sini nih:

bagian 1 klik di sini
bagian 2 klik di sana

Senin, 23 November 2009

Senandung Cinta Sang Ikhwan Telenovela

Ukhtiku...
Masihkah menungguku...?

Hmmm... menunggu, menanti, atau whatever-lah yang sejenis dengan itu kata orang membosankan. Benarkah?!
Menunggu...
Hanya sedikit orang yang menganggapnya sebagai hal yang ‘istimewa’.
Dan bagiku, menunggu adalah hal istimewa.
Karena banyak manfaat yang bisa dikerjakan dan yang diperoleh dari menunggu.
Membaca, menulis, diskusi ringan, atau hal lain yang bermanfaat.

Menunggu bisa juga dimanfaatkan untuk mengagungkan-Nya,
melihat fenomena kehidupan di sekitar tempat menunggu,
atau sekadar merenungi kembali hal yang telah terlewati.
Eits, bukan berarti melamun sampai bengong alias ngayal dengan pikiran kosong.
Karena itu justru berbahaya, bisa mengundang makhluk dari ‘dunia lain’ masuk ke jiwa.

Banyak hal lain yang bisa kau lakukan saat menunggu.
Percayalah bahwa tak selamanya sendiri itu perih.
Ngejomblo itu nikmat, jenderal!
Ups, itu judul tulisanku beberapa waktu lalu.

Bahwa di masa penantian, kita sebenarnya bisa lebih produktif.
Mumpung waktu kita masih banyak luang.
Belum tersita dengan kehidupan rumah tangga.
Jadi waktu kita untuk mencerahkan ummat lebih banyak.
Karena permasalahan ummat saat ini pun makin banyak.

Karenanya wahai bidadari dunia...
Maklumilah bila sampai saat ini aku belum datang.
Bukan ku tak ingin, bukan ku tak mau, bukan ku menunda.
Tapi persoalan yang mendera bangsa ini kian banyak dan kian rumit.
Begitu banyak anak tak berdosa yang harus menderita karena busung lapar, kurang gizi, lumpuh layuh hingga muntaber.
Belum lagi satu per satu kasus korupsi tingkat tinggi yang membuktikan bahwa negeri ini ’sarang tikus’.
Ditambah lagi bencana demi bencana yang melanda negeri ini.
Meski saat ini hidup untuk diri sendiri pun rasanya masih sulit.
Namun seperti seorang ustadz pernah mengatakan bahwa hidup untuk orang lain adalah sebuah kemuliaan. Memberi di saat kita sedang sangat kesusahan adalah pemberian terbaik.
Bahwa kita belumlah hidup jika kita hanya hidup untuk diri sendiri.

Ukhtiku...
Di mana pun engkau sekarang, janganlah gundah, janganlah gelisah.
Telah kulihat wajahmu dan aku mengerti,
betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku di dalam hari-harimu.
Percayalah padaku aku pun rindu akan hadirmu.
Aku akan datang, tapi mungkin tidak sekarang.
Karena jalan ini masih panjang.
Banyak hal yang menghadang.
Hatiku pun melagu dalam nada angan.
Seolah sedetik tiada tersisakan.
Resah hati tak mampu kuhindarkan.
Tentang sekelebat bayang, tentang sepenggal masa depan.
Karang asaku tiada ‘kan terkikis dari panjang jalan perjuangan, hanya karena sebuah kegelisahan.
Lebih baik mempersiapkan diri sebelum mengambil keputusan.
Keputusan besar untuk datang kepadamu.

Ukhtiku...
Jangan menangis, jangan bersedih, hapus keraguan di dalam hatimu.
Percayalah pada-Nya, Yang Maha Pemberi Cinta,
bahwa ini hanya likuan hidup yang pasti berakhir.
Yakinlah... saat itu pasti ‘kan tiba.
Tak usah kau risau karena makin memudarnya kecantikanmu.
Karena kecantikan hati dan iman yang dicari.
Tak usah kau resah karena makin hilangnya aura keindahan luarmu.
Karena aura keimananlah yang utama.
Itulah auramu yang memancarkan cahaya syurga,
merasuk dan menembus relung jiwa.

Wahai perhiasan terindah...
Hidupmu jangan kau pertaruhkan, hanya karena kau lelah menunggu. Apalagi hanya demi sebuah pernikahan. Karena pernikahan tak dibangun dalam sesaat, tapi ia bisa hancur dalam sedetik. Seperti negara Iraq yang dibangun berpuluh tahun, tapi bisa hancur dalam waktu sekian hari.

Jangan pernah merasa, hidup ini tak adil.
Kita tak akan pernah bisa mendapatkan semua yang kita inginkan dalam hidup.
Pasrahkan inginmu sedalam qalbu, pada tahajjud malammu.
Bariskan harapmu sepenuh rindumu, pada istikharah di shalat malammu.
Pulanglah pada-Nya, ke dalam pelukan-Nya.
Jika memang kau tak sempat bertemu diriku,
sungguh…itu karena dirimu begitu mulia, begitu suci.
Dan kau terpilih menjadi Ainul Mardhiyah di jannah-Nya.

Ukhtiku...
Skenario Allah adalah skenario terbaik.
Dan itu pula yang telah Ia skenariokan untuk kita.
Karena Ia sedang mempersiapkan kita untuk lebih matang,
merenda hari esok seperti yang kita harapkan nantinya.
Untuk membangun kembali peradaban ideal seperti cita kita.

Ukhtiku...
Ku tahu kau merinduiku, bersabarlah saat indah ‘kan menjelang jua.
Saat kita akan disatukan dalam ikatan indah pernikahan.
Apa kabarkah kau di sana?
Lelahkah kau menungguku berkelana?
Lelahkah menungguku kau di sana?
Bisa bertahankah kau di sana?
Tetap bertahanlah kau di sana...
Aku akan segera datang, sambutlah dengan senyum manismu.
Bila waktu itu telah tiba,
kenakanlah mahkota itu,
kenakanlah gaun indah itu...
Masih banyak yang harus kucari, ‘tuk bahagiakan hidup kita nanti…

Ukhtiku...
Malam ini terasa panjang dengan air mata yang mengalir.
Hatiku terasa kelu dengan derita yang mendera,
kutahan derita malam ini sambil menghitung bintang.
Cinta membuat hati terasa terpotong-potong.
Jika di sana ada bintang yang menghilang,
mataku berpendar mencari bintang yang datang.
Kalau memang kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang…

Ku awali hariku dengan tasbih, tahmid, dan shalawat.
Dan mendo’akanmu agar kau selalu sehat, bahagia,
dan mendapat yang terbaik dari-Nya.
Aku tak pernah berharap, kau ‘kan merindukan keberadaanku yang menyedihkan ini.
Hanya dengan rasa rinduku padamu, kupertahankan hidup.
Maka hanya dengan mengikuti jejak-jejak hatimu, ada arti kutelusuri hidup ini.
Mungkin kau tak pernah sadar betapa mudahnya kau ‘tuk dikagumi.
Akulah orang yang ‘kan selalu mengagumi, mengawasi, menjaga, dan mencintaimu.

Ukhtiku...
Saat ini ku hanya bisa mengagumimu,
hanya bisa merindukanmu.
Dan tetaplah berharap, terus berharap.
Berharap aku ‘kan segera datang.
Jangan pernah berhenti berharap,
Karena harapan-harapanlah yang membuat kita tetap hidup.
Bila kau jadi istriku kelak,
jangan pernah berhenti memilikiku,
dan mencintaiku hingga ujung waktu.
Tunjukkan padaku kau ‘kan selalu mencintaiku.
Hanya engkau yang aku harap.
Telah lama kuharap hadirmu di sini.
Meski sulit, harus kudapatkan.
Jika tidak kudapat di dunia...
‘kan kukejar sang Ainul Mardhiyah yang menanti di surga.

Ku akui cintaku tak hanya hinggap di satu tempat,
aku takut mungkin diriku terlalu liar bagimu.
Namun sejujurnya, semua itu hanyalah persinggahan egoku,
pelarian perasaanku.
dan sikapmu telah meluluhkan jiwaku.
Waktu pun terus berlalu dan aku kian mengerti…
Apa yang akan ku hadapi.
Dan apa yang harus kucari dalam hidup.

Kurangkai sebuah tulisan sederhana ini,
untuk dirimu yang selalu bijaksana.
Aku goreskan syair sederhana ini,
untuk dirimu yang selalu mempesona.
Memahamiku dan mencintaiku apa adanya.
Semoga Allah kekalkan nikmat ini bagiku dan bagimu.
Semoga...

Kau terindah di antara bunga yang pernah aku miliki dahulu.
Kau teranggun di antara dewi yang pernah aku temui dahulu.
Kau berikan tanda penuh arti yang tak bisa aku mengerti.
Kau bentangkan jalan penuh duri yang tak bisa aku lewati.
Begitu indah kau tercipta bagi Adam.
Begitu anggun kau terlahir sebagai Hawa.

****

Begitu lah salah satu tulisan yang pernah dibuat oleh si ikhwan telenovela. Siapakah orangnya kalau dia akhwat yang nggak kelepek-kelepek baca tulisan kayak gini? Lalu apakah ini adalah tulisan saya sendiri? Hahahaha.... selamat deh buat yang sudah menebak seperti itu, karena jawabannya SALAH, pemirsa!

Bukan saya yang nulis ini. Entah siapa...?
Saya temukan tulisan ini di harddisk laptop saya. Nggak inget juga kapan nyomotnya dan darimana sumbernya. Tapi kalau dilihat dari filenya dibuat sih sekitar tahun 2006. Sudah 3 tahun yang lalu ya berarti.

Dulu sih waktu saya baca ini lumayan jadi terinspirasi juga. Kesannya keren... romantic-romantic gimanaaa gitu... hehehe...
Tapi setelah dipikir-pikir, kok kayaknya nggak banget yak?! Saya nggak suka bukan berarti saya sok nggak romantis atau bahkan frigid lho. Soalnya kemarin ada seorang teman yang nanya, "apakah ikhwan itu gak pernah jatuh cinta?"
Waduh... ya saya jawab saja, "Bohong besar lah itu. Buktinya saya juga pernah jatuh cinta." Patut dipertanyakan kenormalannya kalau ada orang yang seperti itu (tidak pernah merasa jatuh cinta). Jujur saja, saya sendiri dulu pernah bikin tulisan serupa kayak tulisan di atas untuk seorang akhwat. Dulu... itu waktu saya masih jadi ikhwan bakwan, alias ikhwan jadi-jadian. Suka TePe TePe juga sama yang namanya akhwat.  Tapi sekali lagi, itu dulu... Dan sekarang sudah tobat! Taubatan nasuha! Mengakui kesalahan dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak kembali mengulang kesalahan yang sama. (fiuhh... maafkan saya sekali lagi ya Allah...)

Setelah saya renungi, sepertinya sangat tidak elok jika seorang ikhwan bikin tulisan kayak gitu dan dikirimkan atau ditujukan untuk seorang akhwat idamannya. Entah siapa pun itu, selama memang belum ada ikatan pernikahan di antara mereka. Walaupun tulisan di atas terkesan indah, mengandung bahasa dan kalimat-kalimat agama, tapi.... ya tetap saja kurang pantas. Rasanya itu semua baru akan menjadi pantas jika diperuntukkan seorang akhwat yang telah resmi mengikat janji setia dengan kita, alias istri kita. Itu sih jangankan bikin puisi seperti di atas, berbuat seromantis dan semelankholis apa pun untuknya itu menjadi nilai ibadah. Luar biasa bukan? Makanya... ayo menikah! Loh... (o.O)' hahahaha... (nyuruh-nyuruh menikah padahal sendirinya belum). Tapi ya sudahlah... biarkan Allah menjalankan skenario-Nya sendiri, saya hanya bisa berusaha untuk menjemputnya.

Sabtu, 21 November 2009

Seni Hidup Susah

"Mendidik seorang anak yang setelah dewasa siap menjadi orang miskin jauh lebih sulit daripada mendidik anak yang setelah dewasa siap menjadi orang kaya." Begitulah kalimat yang pernah diucapkan ayah saya. Sampai sekarang, rasanya masih terngiang-ngiang sekali dalam benak saya kalimat tersebut saat pertama kali keluar dari mulut ayah. Waktu itu adalah ketika saya kelas 6 SD. Saat itu mungkin saya belum cukup dewasa, tapi saya cukup bisa mencerna perkataan ayah saya. Sesaat setelah mendengarkan kalimat itu keluar dari lisan ayah, seolah saya telah mendapatkan jawaban atas apa yang sering saya alami di masa yang sudah lalu. Ya... saya kira itulah sebabnya kenapa selama ini ayah mendidik saya cukup "keras".

Mulai dari kecil saya tidak pernah dibiasakan mendapatkan segala sesuatu yang saya inginkan dengan cara mudah, walaupun saya tau ayah pasti dapat memberikannya dengan mudah kalau beliau mau. Terkadang saya pun sering mengeluh dan bercerita pada ibu saya, kok kenapa kalau ingin ini ingin itu rasanya sulit sekali memintanya. Apalagi kalau keinginan itu yang bersifat hiburan atau kesenangan semata. Tapi lain halnya kalau soal pendidikan, ayah pasti tanpa pikir panjang akan langsung mengeluarkan isi dompetnya begitu saya memintanya. Sebagai anak-anak, waktu itu, tentu saya tidak pernah terfikir bahwa itu adalah pola pendidikan yang ayah terapkan pada saya dan adik-adik saya. Sering kali perasaan yang saya rasakan saat itu hanya sebuah kekecewaan semata tanpa ada nilai pendidikan yang bisa saya ambil. Tapi seiring berjalannya waktu, semakin bertambah dewasanya usia saya, maka saya pun semakin bisa berfikir dan merenungi setiap kejadian yang saya alami di masa lalu itu. Sampai akhirnya saya sadar betul bahwa sebenarnya itu semua hanya cara ayah saya dalam mendidik anak-anaknya, persis seperti ungkapan kalimat yang saya tulis di awal paragraf di atas.

Sebagai contoh saja, ketika saya SD, saya tidak pernah diantar-antar dengan orangtua sebagaimana layaknya anak-anak, kecuali 6 bulan pertama saat saya pertama kali masuk SD, saya sering diantar jemput oleh ibu. Dari rumah saya harus jalan kaki sampai depan komplek rumah yang jaraknya sekitar 800 meter. Lalu dilanjutkan naik angkot yang jaraknya sampai sekolah kira-kira 8 KM. Padahal saat itu mungkin bisa saja ayah saya mengantar saya sebelum berangkat ke kantor dengan mobilnya. Saya diberi uang saku secukupnya bahkan waktu itu terbilang kecil jika dibandingkan dengan uang saku teman-teman saya yang lain. Bayangkan! Saya hanya diberi Rp. 500,-. Untuk naik angkot pulang pergi Rp. 200,-. Uang segitu saat itu memang bernilai cukup besar, dan sisa uang Rp. 300,- masih bisa untuk jajan makanan kecil. Itulah sebabnya sejak kecil saya jadi suka cari akal bagaimana caranya bisa dapat uang jajan lebih tanpa harus minta orangtua. Ya waktu itu yang terfikir adalah dengan cara jualan dan mengajari teman pelajaran sekolah dengan imbalan traktir jajan dari mereka.

Pengalaman-pengalaman seperti itu terus saya alami sampai saya SMA, bahkan saat kuliah. Saya tidak pernah merasa bahwa apa yang saya peroleh itu didapat dengan cara yang mudah. Semuanya serba harus dengan perjuangan di tengah fasilitas yang terbatas. Tapi efek dari pendidikan ayah saya tersebut, dapat saya rasakan manfaatnya dari waktu ke waktu. Hingga akhirnya saya menjadi sangat bersahabat dengan yang namanya kesulitan dan kegagalan. Bahkan saat ini terkadang saya malah suka menyengaja diri saya agar terlibat dalam kesulitan, walaupun sebenarnya saya tau cara yang mudahnya. Misalnya, ketika SMA saya mulai diberikan ayah sebuah motor untuk transportasi pulang pergi dari sekolah, tempat les, dan rumah. Tapi walaupun begitu, saya malah lebih sering memarkir motor saya di garasi rumah, dan berangkat ke sekolah atau tempat les dengan berjalan kaki dan naik angkot. Beberapa teman saya menganggap saya aneh dengan tingkah yang seperti itu. Tapi itulah cara saya dalam mendidik diri saya sendiri. Menurut kamu, apakah sebenarnya yang ada di benak para pecinta alam yang sering naik turun gunung, menyusuri sungai, bahkan tidur hanya beralaskan rumput dan beratapkan langit saja. Mengapa mereka mau mempersulit diri mereka sendiri dengan tidur di hutan belantara yang serba gelap, udaranya dingin, bahkan tidak lepas dari ancaman binatang buas. Sementara mereka sebenarnya bisa saja tidur di atas kasur yang empuk, atau nonton TV sambil mengemil makanan ringan. Mengapa mereka malah memilih yang sulit daripada segala kemudahan? Pemikiran seperti itulah yang sering saya gunakan. Justru dari kesulitan yang dihadapilah manusia akan belajar. Dia tidak akan pernah belajar sesuatu yang berharga jika dia terbiasa dengan segala sesuatu yang enak dan mudah dia dapatkan.

Coba kita perhatikan sebuah pohon. Terpaan angin kencang dengan mudah akan dapat menumbangkan pohon-pohon yang rapuh dan berakar dangkal. Tetapi sebaliknya, terpaan angin kencang yang sama justru akan memperkuat pohon-pohon yang kokoh dan berakar dalam. Dalam kehidupan sehari-hari, 'terpaan angin kencang' berupa masalah, kegagalan, beban kehidupan, konflik, dan berbagai hal negatif lainnya dapat dengan mudah menghancurkan orang-orang rapuh yang tidak memiliki semangat juang dan menjalani hidup tanpa tujuan. Sebaliknya, kesulitan-kesulitan yang sama justru akan dapat memperkuat orang-orang yang memiliki semangat juang tinggi, dengan tujuan hidup yang pasti, serta keteguhan hati yang kuat.

Setiap orang pastilah pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya, kondisi–kondisi genting  atau bahkan  saat–saat kritis dalam hidupnya. Kebanyakan orang sangat tidak menyukai atau bahkan membenci hal tesebut. Namun sering tanpa kita sadari bersama, bahwa justru hanya dalam keadaan kritis seperti itulah diri kita baru dapat mengeluarkan kemampuan yang sesungguhnya dan tumbuh menjadi individu yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Setiap orang pastilah pernah mengalami hal tersulit dalam hidupnya, tetapi yang membedakan antara orang gagal dan berhasil adalah respon atas tindakan dari hal yang mereka alami. Jika kita dapat mengambil manfaat atas hal buruk atau kritis yang menimpa kita, maka niscaya kita kelak akan menjadi sukses di kemudian hari. Saya memang belum merasa telah ada pada suatu titik yang disebut kesuksesan. Sebab pada hakikatnya yang layak menilai seseorang sukses atau tidak tentulah harus orang lain, bukan diri sendiri. Tapi setidaknya, lewat apa yang sudah ayah saya ajarkan kepada saya. Kemudian serangkaian usaha yang saya lalukan sesuai dengan pandangan hidup saya tentang hidup itu sendiri, telah menjadikan saya seorang Dimas yang sekarang ini.

Senin, 16 November 2009

Beasiswa S2 dan S3 Biotechnology di Osaka University - Japan

http://www.mls.eng.osaka-u.ac.jp/FB_inter_prog/FB_inter_prog.html
Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kemampuan ilmuwan muda untuk keterampilan penelitian dan pengetahuan yang lebih mendalam di bidang biologi, kimia, dan fisika untuk memanfaatkan potensi bioteknologi. Mencakup program master dan doktor, termasuk juga kursus yang menekankan manfaat penelitian yang secara langsung kepada masyarakat dan lingkungan. Siswa diharapkan untuk mengikuti kursus-kursus ini secara berurutan untuk memperoleh kedua gelar master dan gelar doktor.

Akhwat Korsad VS Ikhwan Santika

Tak seperti biasanya, pengepungan kali ini berjalan begitu lama. Maslamah sendiri, sang panglima khalifah itu tidak dapat menentukan sampai kapan pengepungan itu akan berhasil. Sementara itu, esok atau lusa pasti surat khalifah akan datang dan menanyakan mengapa ekspedisi militernya memakan banyak waktu, tidak seperti biasanya.

Insting kepemimpinannya segera menuntunnya untuk melakukan pengintaian secara rahasia. Ia berniat hendak mencari celah yang mungkin dapat menembus benteng. Maslamah yakin, bahwa kemenangan akan diperoleh, jika pasukannya mampu menembus benteng. Persoalannya, bagaimana yang memungkinkan untuk diterobos itu yang belum ditemukan. Setelah mengadakan penjajagan dengan seksama, Maslamah menyimpulkan bahwa terdapat lorong yang memungkinkan untuk ditembus. Dan itu membutuhkan relawan yang berani untuk melakukannya. Jika ia berhasil masuk ke dalam benteng, maka ia akan dapat membukakan pintu sebagai jalan masuk penyerbuan lebih lanjut. Di kemah, Maslamah membicarakan hal tersebut dengan beberapa perwiranya. Setelah selesai strategi itu dikemukakan, dengan menatap satu persatu wajah para perwiranya, Maslamah menantang siapa di antara mereka yang berani masuk menembus lorong, semuanya diam.

Maslamah tafakur, tiba-tiba dari arah lain datang tentara berkuda dengan wajah ditutup cadar. Ia mengatakan sanggup melaksanakan tugas berat tersebut saat itu juga, karena waktu tersebut dinilai tepat untuk melakukan penyusupan. Maka, ia pun segera berangkat. Maslamah pun melepas dengan bekal do’a. Beberapa waktu kemudian, terdengar suara teriakan takbir dari pintu benteng. Tampaknya dia telah berhasil menerobos benteng. Setelah berhasil membunuh penjaganya, orang bercadar itu segera membuka pintu benteng. Di depan pintu benteng ia berteriak dengan takbir berkali-kali. Suara itu seketika membangkitkan semangat kaum muslimin. Bagaikan air bah, para mujahidin fi sabilillah itu menyerbu ke dalam benteng. Dalam waktu singkat, benteng jatuh dan pasukan musuh dapat dihancurkan. Banyak di antara mereka yang mati, sementara lainnya dapat ditawan.

Setelah perang usai, Maslamah masih memikirkan prajurit bercadar itu. Ia perintahkan seluruh perwiranya untuk mencari, siapakah sebenarnya prajurit bercadar itu. Sampai waktu yang lama, tak ada juga yang mengaku. Namun tak lama berselang kemudian, datanglah orang bercadar dengan berjalan kaki. Sesampainya di depan Maslamah, ia pun bertanya,”Apakah tuan masih mencari prajurit bercadar?”. ” Benar, kaukah orangnya?”, ”Saya dapat menunjukan orangnya, asal Tuan mau berjanji kepadaku!”. ”Baiklah. Apa yang harus kujanjikan untukmu?”. ”Tuan jangan menanyakan siapa namanya. Tuan jangan memberi hadiah apapun kepadanya. Dan ketiga, tuan jangan menceritakan kepada seorangpun! Apakah tuan mau berjanji memenuhi 3 syarat itu?”. ”Ya saya berjanji. Tak akan aku bertanya siapa namanya. Tak akan aku beri hadiah kepadanya dan terakhir, aku berjanji tak akan menceritakan hal dirinya kepada siapapun.” ”Ketahuilah panglima, orang itu adalah yang ada dihadapan Tuan”. Selanjutnya setelah orang bercadar itu berlalu, Maslamah mengangkat tangannya berdo’a, ”Ya Allah kumpulkanlah aku di surga dengan orang bercadar itu!”.

Kisah di atas menggambarkan keihklasan membawa kemenangan. Imam Syahid Hasan al Banna, ”Yang saya maksud dengan ikhlas adalah bahwa seorang al akh hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya kepada Allah swt. Mengharapkan keridhaan-Nya, tanpa memperhatikan keuntungan materi, prestise, pangkat, gelar, kemajuan, atau kemunduran. Dengan begitu ia telah menjadi tentara aqidah, bukan tentara kepentingan yang hanya mencari kemanfaatan dunia. Dengan begitu seorang al akh telah memahami slogan ”Allah tujuan kami”. Sungguh, Allah Mahabesar dan bagi-Nya segala puji”.

Dakwah ini, dengan segala tribulasinya, membutuhkan mujahid yang tulus dan ikhlas membela Agamanya, bukan yang berharap bidadari atas amal yang telah dilakukannya, apalagi menurutnya bidadari itu telah turun ke bumi semenjak Islam mulai bangkit lagi di bumi ini. Bidadari-bidadari itu menghias diri setiap hari. Dia berwujud manusia yang berhati lembut, dipandang mata, menyejukkan dilihat, menentramkan hati setiap pemiliknya. Dialah wanita shalihah yang menjaga kesucian dirinya. Sehingga di penghujung do’anya ”Ya Allah, jadikanlah aku orang yang senantiasa dikelilingi oleh bidadari-bidadari bumi. Agar kelak di surga aku tidak canggung lagi”. Awas ikhwan santika, mujahid berjilbab yang senang dikelilingi para akhwat dan betah bekerja di lingkungan keakhwatan.

Alangkah indahnya Islam. Kedudukan manusia dinilai dari ketaqwaannya, bukan dari gendernya. Ini adalah strata terbuka sehingga siapa saja berpeluang untuk memasuki strata taqwa.

Ikhwan dan akhwat adalah dua makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbeda. Di lapangan, ikhwan dan akhwat harus menjaga hijab satu sama lain, namun tentu bukan berarti harus memutuskan hubungan, karena dalam dakwah, ikhwan dan akhwat adalah seperti satu bangunan yang kokoh, yang sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 9: 71). Dakwah selalu berubah dan membutuhkan kegesitan atau gerak cepat dari para aktivisnya. Sedangkan permasalahan dakwah di lapangan semakin kompleks, sehingga membutuhkan aktivis yang tanggap dan bisa membaca situasi. Jangan sampai seperti dalam beberapa situasi diindikasikan bahwa ghirah, militansi, dan keagresifan berdakwah akhwat lebih daripada ikhwan sehingga timbul istilah akhwat korsad, militan, perkasa, dan mandiri. Semoga alur dakwah kita kembali menemukan format yang sebenarnya, ikhwan korsad dan akhwat santika.

ikhwan apa bakwan
wajah penuh jerawat seperti thokolan
katanya karena mikirin ummat yang jutaan
tidak tahunya mikirin akhwat idaman

ikhwan apa bakwan
dari jauh nampak sopan
berjalan gagah pengen jaga pandangan
ternyata mata juga jelalatan

ikhwan apa bakwan
kalo taklim serius tahan godaan
liat ustad penuh perhatian
tapi sama akhwat kelepek-kelepek belingsatan

ikhwan apa bakwan
wajah santun jenggotan
pengen nyunah rosul tauladan
apa daya cuman bergaya biar terlihat tampan...

PENGEN NGINGETIN AZA WAN!

ada apa dengan ikhwan
mau nikah malah kelamaan
akhwatnya sudah menanti ampe jamuran (ups)
tapi tuh ikhwan gak juga khitbah akhwat idaman

ada apa dengan ikhwan
mau nikah mikirnye kelamaan
mikir makan, anak dan kontrakan
tenang Wan ente kan punya Allah yang bisa kasih bantuan

ada apa dengan ikhwan
mau nikah banyak aturan
harus cantik, putih, kaya dan menawan
inget dong apa yang rosul telah katakan

ada apa dengan ikhwan
mau nikah banyak alasan
gaji, kuliah, sampe ortu jadi sasaran
kasihan kan akhwat yang cantik nunggu kelamaaan

ada apa dengan ikhwan
baca beginian sampe marah dan menaruh dendam
peace Wan, peace Wan
cuman mengingatkan Wan (nyok makan Bakwan)..hehe


(Hanya sebuah renungan untuk yang mengaku sedang berjuang)

Wallahu’alam.

Sumber:
di situ dengan isi yang sudah diedit seperlunya.

Sabtu, 14 November 2009

Dongkol. Itulah pasti perasaan yg dirasakan kalau mem-posting tulisan yg tujuannya hanya untuk memancing comment atau menyindir orang tertentu, tapi ternyata target yg dituju malah sama sekali gak comment, bahkan ngintip pun tidak! hihihihi... *nyengir keledai*

Ummi Ngedadak Narsis...




jarang-jarang si ummi mau difoto dengan gaya yang sebegitunya. hwehehehe... biasanya susaaah banget dah kalo mau difoto! harus ngumpet-ngumpet kayak paparazi. padahal doi bukan artis dan sebenarnya gak perlu pake candid camera juga kalo mau ambil gambarnya. tapi entah kenapa 2 hari yang lalu ummi ngedadak narsis minta tolong saya motoin beliau sama gang-nya. pulang dari kantor tanpa ganti baju dulu ujug-ujug minta difotoin di taman. fiuhh... inilah beberapa gayanya yang tertangkap kamera... ^__^ v

Rabu, 11 November 2009

Indahnya Menjaga Lisan, Berkatalah yang Baik atau DIAM

“Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasululloh bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam…” (HR Mutafaqun ‘alih).

Lidah tak bertulang, namun ketajamanannya dapat menembus hingga lubuk hati yang paling dalam. Luka yang diakibatkannya pun seringkali sulit untuk bisa dilupakan dalam waktu yang singkat. Lidah atau lisan, adalah salah satu nikmat yang diberikan kepada kita oleh Allah swt. Selain sebagai salah satu indera perasa (indera pengecap). Lidah atau lisan juga sebagai salah satu bagian dari ‘alat’ komunikasi kita. Dibandingkan dengan alat komunikasi yang lain seperti telinga kita cenderung lebih sering menggunakan lidah.

Artinya dibandingkan mendengar kita lebih menyukai berbicara. Dari hadis di atas, Rasululloh mensinyalir bahwasanya lisan dapat membawa ‘kerusakan’ yang besar kalau kita tidak dapat menjaganya. Untuk itu Rasululloh mendahulukannya dengan kata-kata, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir…”. Dengan kata lain menjaga lisan itu adalah hal yang harus benar-benar kita perhatikan. Sehingga dimasukan dalam salah satu ciri atau tanda berimannya seseorang. Dalam realitanya pun kita dapat melihat seberapa besar bahaya yang diakibatkan oleh ‘kejahatan lisan’.

Persaudaraaan, kekerabatan, pertemanan, perceraian, bahkan pertumpahan darah pun bisa terjadi karena bahaya yang dihasilkan oleh lisan. Bahaya tersebut antara lain adalah berupa hasud, fitnah, celaan, dan yang lainnya. Terlebih bagi kaum wanita yang sangat rentan sekali dengan kebohongan berita atau ‘gosip’. Sudah menjadi rahasia umum ‘ngegosip’ adalah ‘hobi’ para wanita, baik itu ibu-ibu maupun yang masih lajang. Seringkali kita tidak pernah sadar akan kemadhorotan yang besar dan merugikan bagi orang lain juga diri kita sebagai akibat dari tidak bisanya kita menjaga lisan.

Dalam kitab-Nya yang suci Al-Qur’anul Karim Allah swt berfirman, “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) di sisi Allah…” (QS Al-Baqoroh [2]:217). Ini memperkuat betapa pentingnya memperhatikan lisan kita agar tidak melukai perasaan orang lain, terlebih sampai menimbulkan kemadhorotan yang lebih besar. Kita juga tak asing dengan sebuah pepatah bijak yang mengatakan, “Diam itu emas’. Dan itu memang sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Islam.

Pada zaman sekarang menjaga lisan sudah sering tidak kita perhatikan lagi. Bahkan parahnya hal tersebut dijadikan sebagai barang komoditi. Seperti infotainment yang menyajikan acara ‘ghibah’ atau gosip. Membicarakan hal pribadi atau kejelakan orang lain, terlepas dari siapa dan apa yang dibicarakannya. Dengan tidak melihat kemadhorotannya yang lebih besar sebagai akibat dari tidak menjaga lisan mereka. Di sisi lain, lagi-lagi Islam menuniukkan kesempurnaannya sebagai agama yang diridhoi di sisi-Nya. Sampai hal yang kecil dan sering dianggap remeh ternyata Islam sangat begitu memperhatikannya.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Wallahu ‘alam bi showab.

Sumber: di sana dan di situ

Senin, 09 November 2009

Hasil Psikotest Analisis Kepribadianku

Dua minggu yang lalu saya ikut psikotest. Hasil psikotest terbaru kemarin baru saja selesai dan saya terima hasilnya. Ada yang mengejutkan ternyata, kok nilai IQ saya meningkat ya? Aneh... soalnya saya pernah baca buku katanya kalau IQ seseorang itu cenderung tetap. Tapi lucunya lagi pas baca hasil analisis kepribadiannya. Saya baca tiap kalimatnya sambil senyam-senyum sendiri, terus sesekali mengangguk-angguk tanda mengiyakan. Tapi kadang-kadang juga mengernyitkan dahi tanda perasaan nggak gitu-gitu amat dah! Deskripsi lengkapnya seperti ini:

Dimas Angga Kusuma, adalah seorang yang kuat. Ia adalah seorang yang ekstrovert, pelaku sebuah pekerjaan dan selalu optimis. Berbakat sebagai pemimpin, dinamis dan aktif, sangat memerlukan perubahan, harus senantiasa memperbaiki kesalahan, kemauan kuat dan tegas, tidak mudah patah semangat, bebas, dan mandiri. Ia senantiasa memancarkan keyakinan, bisa menjalani apa saja, motivator yang hebat, berorientasi pada target, detail, terorganisir dengan baik, cenderung untuk mencari pemecahan yang praktis, bergerak cepat, mendelegasikan pekerjaan, menekankan hasil, dan kompetitif.

Memiliki kepribadian yang menarik, suka berbicara, emosional, humoris, ingatannya kuat, mampu berbicara dengan memukau, demonstratif, ekspresif, antusias, penuh semangat, penuh rasa ingin  tahu, good performance, gampang jatuh cinta, suka dipuji, dan bersikap spontan.

Sebagai teman, dia cenderung kurang butuh teman, maunya memimpin, biasanya selalu merasa benar dan unggul dalam keadaan yang sifatnya darurat. Yang peling menonjol adalah, bahwa ia seorang pekerja keras, ambisius dalam mengejar prestasi. Ia tidak bisa bersantai-santai dan selalu tegang. Ini membuat ia gampang mengalami depresi.

Dia hanya mampu berbahagia jika berposisi sebagai pengendali alias pemimpin. Dia selalu mendominasi dan akan menjatuhkan dengan sengaja atau tak sengaja jika ada atasannya yang lembek.

Dia selalu sok unggul dan meremehkan orang lain. Namun uniknya, dia mampu memanipulasi (tingkat partisipasi terendah, di mana seseorang mengikuti orang lain tanpa tahu apa maksudnya) orang sehingga tunduk di bawah kendalinya. Dia juga tidak sabaran, suka menasehati atau memberi solusi meskipun tidak diminta sehingga kesannya menjadi sok tahu dan sok care. Kadang kala ia bersikap otoriter dan senang dengan pertempuran/pertengkaran. Karena jika ia 'bertempur', dan ia menang, maka itulah kesenangan yang ia dambakan. Ia akan senang menyalahkan orang lain dan menganggap ia paling benar. Sayangnya, ia juga sulit untuk minta maaf.

KESIMPULAN: Merupakan seseorang yang memiliki jenis kepribadian perpaduan antara Koleris - Sanguinis dengan sisi Koleris lebih dominan. Cocok disandingkan dengan orang yang berkepribadian Sanguinis, Plegmatis, atau perpaduan antara sanguinis - plegmatis.

*) btw, maksudnya apa tuh kata "disandingkan" di atas? wkwkwkwk... salah ketik kali tuh psikolognya. Kesannya kok jadi kayak biro jodoh neh! hwahahahaha... 

Henshin! theme-nya berubah...

Minggu, 08 November 2009

Inilah Aku Si Raja Gagal

Cukup banyak teman yang mengatakan bahwa saya adalah orang yang 'beruntung'. "Wah... Dimas keren ya bisa dapet beasiswa ke Jepang", kata seorang teman. "Wah... hebat, masih muda tapi udah bisa ngehasilin duit sendiri", kata teman yang lain. Juga banyak pernyataan sejenis yang saya dengar langsung atau dari pihak ketiga. Ahh.... seandainya mereka semua tau bahwa apa yang saya peroleh, impian-impian saya itu, juga apa yang menjadi hasrat hidup saya tidak semudah itu saya peroleh, seperti yang mereka kira. Kalau dihitung-hitung, mungkin saya termasuk salah satu orang yang paling sering gagal. Iya betul... paling sering gagal alias si raja gagal.

Barangkali perlu saya ceritakan beberapa kisah kegagalan yang pernah saya alami. Sebenarnya sih banyak banget, tapi kalau saya ceritakan semua, malu juga sih... masak aib sendiri dibuka-buka sih?! Hehehe...! Walaupun yang namanya kegagalan, kalau disikapi dari sudut pandang positif bisa menjadi penyemangat, tapi ya tetap saja kurang menyenangkan juga kalau diketahui banyak orang. Ya nggak? Hehe...

Hmmm... banyak orang yang mengira bahwa saya memiliki otak jenius mirip Einstein. Padahal sebenarnya IQ saya tidak lebih dari 110 saja. Angka itu saya ketahui setelah mengikuti tes psikologi dan IQ saat masih SMA dulu. Nilai 110 itu jika dikategorikan sebenarnya hanya masuk kategori di atas rata-rata saja, sama sekali bukan jenius. Saya juga orang yang malas untuk belajar dengan sistem konvensional. Saya pasti akan langsung kabur jika harus belajar berjam-jam dengan duduk diam saja di belakang meja sambil membaca setiap susunan kalimat dalam buku. Bukan karena saya pemalas, hanya saja cara seperti itu bukan cara belajar saya.

Saya memang telah mewujudkan impian saya yang ke 48. Impian itu adalah ingin merasakan pendidikan di Negeri Para Samurai. Tapi sungguh perjalanan untuk mewujudkan itu tidaklah mudah. Sebenarnya impian agar suatu saat bisa ke Jepang itu bukan untuk belajar sih, tapi sekedar main-main saja. Hehehe...! Tapi kemudian saya merenung kembali. Ah masak sih pergi jauh-jauh kok tidak bisa membawa sesuatu yang bisa bermanfaat? Kalau sekedar jalan-jalan sih mungkin mudah, semua orang bisa melakukan. Tapi kalau sambil belajar, mungkin ada nilai tambah yang bisa diambil manfaatnya. Akhirnya saya ubah misi ke Jepang dengan kalimat "merasakan belajar di Jepang".

Saya menyadari bahwa ayah saya saat itu sepertinya tidak cukup mampu kalau harus membiayai kuliah saya di luar negeri dari kocek pribadi. Apalagi ayah tau betul biaya hidup di Jepang tinggi sekali, karena beliau pun dulu pernah kuliah di Jepang dengan beasiswa pemerintah. Jadi saya pikir satu-satunya jalan untuk mewujudkan mimpi itu adalah dengan mendapat beasiswa juga seperti ayah saya.

Perjuangan pertama saya untuk mewujudkan impian itu dimulai ketika saya kelas 2 SMA. Saat itu ada program pertukaran pelajar SMA yang disponsori oleh AFS (American Field Service), sebuah lembaga non profit kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat yang bergerak di bidang pertukaran budaya. Saat itu saya dan beberapa teman ikut seleksi. Seleksinya sendiri diadakan di seluruh Indonesia, kemudian 5 orang yang terpilih akan dikirim ke Jepang untuk mengikuti program pertukaran belajar selama 3 bulan di SMA Jepang. Dari SMA saya ada 8 orang yang ikut seleksi itu, saya salah satunya. Seleksinya meliputi tes pengetahuan umum, tes bahasa Jepang, dan tes wawancara. Singkat cerita, saya gagal dalam seleksi. Entah di bagian tes yang mana saya gagalnya, yang jelas saya gagal. Akhirnya teman se-SMA saya lah salah satu peserta seleksi yang lulus dan berangkat ke Jepang. Huh... baiklah, itu kegagalan saya yang pertama untuk mewujudkan impian belajar di Jepang. Tapi dunia belum kiamat, walau sedikit kecewa, saya tidak mau berhenti sampai di sana.

Setahun kemudian saya pun lulus dari SMA. Sebelum kelulusan saya diberitahu oleh wali kelas tentang program saringan masuk universitas Jepang melalui tes EJU (Examination for Japanese University). Wow... tentu saja saya berminat mengikutinya. Kata wali kelas waktu itu, "kalau mau, kamu bisa ikut, tesnya di Jakarta. Nanti kalau nilai tesnya bagus, bisa sekalian dapat beasiswa." Saya pun ikut tes EJU. Tesnya berupa tes Kemampuan Bahasa Jepang, Matematika, Biologi, dan Fisika. Tak diduga ternyata salah satunya ada tes Kemampuan Bahasa Jepang. Tentu saja saya tidak bisa mengerjakannya dengan baik, karena waktu itu pengetahuan Bahasa Jepang saya lemah sekali. Walaupun dulu saya pernah tinggal di Jepang cukup lama ketika ayah kuliah di Jepang, tapi itu waktu kecil, sudah banyak yang lupa. Setelah kira-kira 1 bulan, hasil ujiannya pun dikirim ke rumah. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, saya tidak lulus seleksi. Saya menduga mungkin karena nilai tes Bahasa Jepangnya yang kecil. Karena bobot nilai untuk tes itu merupakan yang paling besar. Tapi ya sudah lah... itu untuk yang kedua kalinya saya gagal. Tapi apakah saya lantas berhenti? TIDAK!!! Saya masih ngotot untuk bisa mewujudkan mimpi saya.

Karena sudah tidak ada kesempatan lain lagi pada tahun itu, akhirnya saya memutuskan ikut SPMB saja. Lalu diterima lah saya di UGM. Selama setahun saya mengikuti perkuliahan di sana. Di tahun berikutnya, saya kembali ikut tes EJU. Berbekal pengalaman kegagalan yang saya alami di tahun yang lalu, maka saya pun mempersiapkan kemampuan Bahasa Jepang saya dengan ikut kursus selama setahun ke belakang. Sesaat setelah saya ikut tes EJU, ternyata ada informasi beasiswa Monbukagakusho dari Pemerintah Jepang. Wah... saya pikir ini adalah kesempatan lagi, maka saya putuskan juga untuk mengikutinya. Tak lama kemudian, hasil tes EJU kembali dikirim ke rumah. Jreng... jreng... jreng... lalu apakah kali ini saya lulus? Jawabannya ternyata TIDAK, pemirsa! Haduh... hampir frustasi rasanya saat itu. Padahal selama setahun belakangan saya merasa sudah mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk tes EJU di tahun berikutnya. Lalu kemudian saya teringat kalau saya masih punya satu amunisi lagi, beasiswa Monbukagakusho. Tak henti-hentinya saya terus berharap, berdoa, dan berusaha agar amunisi yang terakhir itu bisa mengenai sasaran.

Karena prestasi saya di UGM agak mengecewakan karena saat itu malah lebih fokus cari duit sendiri daripada kuliah. Lalu dengan bermodalkan percaya diri tingkat tinggi bahwa seleksi Monbukagakusho bisa lulus, saya memutuskan berhenti kuliah di UGM. Tapi lama-lama agak khawatir juga, mengingat saya sudah 2 kali gagal tes EJU, lalu bagaimana jika tes Monbu juga gagal, bisa-bisa malah tidak kuliah sama sekali. Akhirnya untuk jaga-jaga, saya ikut SPMB lagi, kemudian lulus lagi dan diterima di Unpad. Tak lama setelah pengumuman hasil SPMB, pengumuman beasiswa Monbu pun datang. Hayo tebak, apakah kali ini saya gagal lagi? Hohoho.... masak sih kali ini gagal lagi. Yak... alhamdulillah kali ini saya berhasil, pemirsa! Tapi beasiswa itu untuk keberangkatan tahun depannya. Dan untungnya saya sudah diterima di Unpad, jadi ya sambil menunggu keberangkatan, jadi tidak nganggur-nganggur amat kan. Hehehe...

Itu dia sedikit cerita kegagalan saya dalam mewujudkan mimpi ke-48. Apa yang saya ceritakan itu adalah kegagalan dari satu bidang saja lho. Masih banyak lagi serangkaian proses kegagalan yang pernah saya alami selain yang saya ceritakan di atas.

Lewat cerita di atas, saya sebenarnya hanya ingin memberikan motivasi pada teman-teman semua. Peristiwa demi peristiwa silih berganti, Selesai satu persoalan muncul persoalan yang lain, Ada yang menyenangkan tetapi juga banyak yang terasa pahit. Demikianlah kita menyikapi kegagalan yang dihadapi. Di balik kegagalan sebenarnya kita sudah menemukan beberapa kesuksesan. Hanya saja, kita lebih sering melihat hasil garis finish dari start. Padahal, tidak akan dapat mencapai finish kesuksesan tanpa melalui jalur start. Renungkalah ragam kehidupan kita, tidak ada yang mulus terus menerus menikmati kesuksesan. Andaikan seseorang tidak pernah mengalami kegagalan, maka mereka tidak akan merasakan apa yang disebut sukses. Atau kita berbaik sangka saja kepada Allah SWT, bahwa di balik kegagalan pasti ada rahasia besar yang ingin ditunjukkan kepada hamba-Nya ini.

Rabu, 04 November 2009

Memahami Kecenderungan Pria Dalam Memilih Pasangannya

Pada postingan yang lalu telah saya coba bahas keterkaitan otak wanita dan serangkaian proses biokimiawi yang dipicu oleh hormon terhadap pola pikir mereka tentang lawan jenisnya. Nampaknya kurang adil juga ya kalau kita hanya membahas perempuan saja, sedangkan laki-lakinya tidak. Hehehe... oleh karena itu kali ini gilirannya laki-laki yang akan saya coba bahas.

John Gray pernah mengistilahkan perbedaan pola pikir dan pandangan terhadap lawan jenis antara pria dan wanita dengan judul buku yang beliau tulis, Men Are From Mars And Women Are From Venus. Sosok lelaki digambarkan oleh John Gray sebagai Planet Mars. Sebuah planet dalam tata surya Bima Sakti yang berwarna merah menyala simbol keberanian dan ketegasan. Sedangkan sosok wanita digambarkan sebagai Planet Venus. Sebuah planet yang sering diidentikkan dengan sifat keindahan dan kecantikan. Sepertinya ungkapan sekaligus judul buku tulisan John Gray tersebut memang cocok digunakan dalam mengistilahkan perbedaan mendasar (secara psikologis) antara pria dan wanita.

Pada postingan sebelumnya telah saya sebutkan bahwa wanita yang sudah memasuki fase usia dewasa, lebih tidak memerhatikan lagi faktor-faktor fisik yang ada pada pria yang diidamkan menjadi pasangannya. Namun lebih kepada sikap (attitude), kecerdasan, kekayaan, dan status sosial sang pria. Sedangkan pada pria, justru bertolak belakang dengan wanita. Meskipun hal-hal seperti sikap, sifat, dan pemahaman agama menjadi unsur utama penilaian, tetapi para pria tidak pernah bisa menghilangkan faktor kecantikan atau fisik begitu saja sebagai objek penilaian. Bahkan seorang kawan pernah menyampaikan leluconnya pada saya. Suatu hari kawan saya tersebut bertanya, "Dimas, mana yang kamu pilih, perempuan yang cantik tapi miskin, atau perempuan yang jelek tapi kaya?" Waktu itu saya jawab, "yang cantik tapi miskin aja deh!". Tetapi kemudian kawan saya tersebut membalas, "Salah, yang bener itu yang jelek tapi kaya." Saya bingung, kemudian balik bertanya, "Lho... emangnya kenapa kok malah yang jelek tapi kaya? Ah matre nih...". Kemudian kawan saya menjawab, "bukannya gitu... soalnya kalau jelek tapi kaya kan nanti bisa operasi plastik. Terus akhirnya jadi cantik dan kaya deh!" Hahahahaha... waktu itu saya sontak saja tertawa. Ya... cerita tadi tentu hanya lah sebuah guyonan semata. Tapi ada sisi baiknya yang bisa kita pelajari dari cerita tadi. Apa coba? Ujung-ujungnya tetap saja menginginkan wanita yang cantik bukan?

Lalu salahkah apabila para pria memiliki kecenderungan seperti itu? Baiklah... sekarang kita coba bahas penyebab di balik itu secara ilmiah ya. Lagi-lagi ini adalah hasil penelitian David Buss tentang ketertarikan kimiawi yang dialami pria dan wanita. Menurut Buss dan ilmuwan-ilmuwan lain yang pernah saya baca hasil penelitiannya, di seluruh dunia, laki-laki ternyata lebih menyukai istri yang secara fisik menarik, berusia antara 20 dan 40 tahun, yang rata-rata usianya 2,5 tahun lebih muda. Mereka juga ingin calon pasangannya itu memiliki kulit bersih, mata cerah, bibir penuh, dan bentuk tubuh berlekuk seperti jam pasir. Coba kita lihat, bukankah semuanya didasarkan kepada kondisi fisik?

Lalu mengapa mereka para pria selalu memasukkan kategori fisik untuk memilih calon pasangan hidup mereka? Dari sudut pandang yang praktis, semua ciri itu, meski mungkin kelihatannya dangkal, adalah penanda visual yang kuat mengenai kesuburan seorang wanita.

Jika perempuan cenderung memilih berpasangan dengan laki-laki yang kemungkinan besar akan tetap mendampinginya, melindunginya dan anak-anaknya, serta mempermudah akses terhadap pangan, papan, dan sumber daya lainnya. Maka laki-laki, berdasarkan kategori-kategori di atas tadi, entah laki-laki itu tahu secara sadar atau tidak, otak mereka tahu bahwa kesuburan perempuan akan menghasilkan imbalan reproduktif terbesar bagi investasi mereka. Jika wanita mengidamkan "kemapanan" calon suaminya, maka sang calon suami mengidamkan "kelayakan" calon istrinya  untuk melahirkan anak-anaknya. Laki-laki selalu ingin memastikan kedudukan mereka sebagai bapak tetapi juga ingin bisa mengandalkan keahlian keibuan seorang perempuan untuk memastikan bahwa keturunan mereka akan bertahan hidup.

Selain itu, ada juga keterikatan fungsi dan sifat otak laki-laki terhadap kecenderungan pola perilaku mereka dalam menilai lawan jenisnya. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa laki-laki lebih dominan menggunakan akal fikirannya ketimbang hati dan perasaannya.

Secara emosional dan psikologis, dalam menganalisa suatu problema atau menentukan suatu pilihan pun pria dan wanita akan berbeda. Karena pria lebih mengedepankan logikanya, maka secara otomatis mereka berfikir lebih logikal rasional. Otak kirinya yang dikedepankan ketimbang otak kanannya. Maka setiap keputusan yang mereka ambil biasanya akan selalu dipertimbangkan dan akhirnya diputuskan berdasarkan stimulus-stimulus yang mereka terima melalui panca indera mereka. Apakah dampak dari ini semua? Akibatnya mereka menentukan pilihan mereka dan mencoba menyelesaikan problema dengan memberikan respon terhadap stimulus yang mereka rasakan secara inderawi. Hal ini lah yang akhirnya membuat pria lebih menilai seseorang atau secara khusus wanita itu baik atau tidak menurut pendapatnya berdasarkan penampilan fisiknya. Mata melihat tubuh dan segala sesuatu yang melekat padanya, hidung mencium segala bebauan yang menempel pada tubuh, dan telinga mendengar suara indah yang mendayu, dan pada beberapa kasus tangan pun merasakan kelembutan kulit lewat bersalaman. Itu lah yang disebut dengan penilaian logis. Semuanya dinilai berdasarkan hasil penalaran otak. Kalau menarik ya menarik, kalau tidak menarik ya tidak menarik, begitu saja sederhananya.

Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan Islam menerapkan peraturan yang cukup ketat bagi kaum wanita dalam berpakaian. Pencipta tentunya akan lebih mengenal tabiat yang ciptakan-Nya ketimbang dia yang diciptakan sendiri bukan? Seorang professor pembuat robot tentu akan lebih mengetahui karakter robot yang dibuatnya ketimbang robot itu sendiri. Jadi janganlah mengherankan apalagi menimpali dengan alasan yang tidak-tidak tentang aturan berhijab bagi seluruh wanita muslim. Sebab itu semua demi perlindungan bagi kaum wanita sendiri.

Namun walaupun setiap pria selalu saja memasukkan kriteria fisik, bukan berarti pria berhenti hanya sampai di sana. Bagi seorang pria yang sudah benar-benar matang kondisi psikologisnya, dia tidak akan hanya menilai kondisi fisik semata. Pria menilai fisik hanya pada 3 detik pertama ketika dia melihat lawan jenisnya. Jika dalam 3 detik itu dia merasakan sesuatu yang baik dari stimulus yang sudah dia terima saat melihat wanita itu, maka selanjutnya pria akan langsung mencari tahu bagaimana sifat wanita ini yang sesungguhnya. Tapi sekali lagi, itu hanya akan dilakukan pria yang memiliki kepribadian cukup matang. Itu lah sebabnya mengapa saat ini ada beberapa pria yang menentukan kriteria pendamping hidupnya hanya berdasarkan penampilan fisik semata tanpa lebih mempertimbangkan akhlaknya.

Kematangan pria tersebut dapat dirangsang oleh beberapa hal. Diantaranya latar belakang lingkungan, pendidikan formal dan nonformal, dan yang terpenting adalah pemahaman agama. Lalu bagaimana dengan seorang pria yang sebenarnya masuk kriteria tampan secara fisik namun memiliki pasangan yang tidak terlalu cantik. Bukankah ada juga yang seperti itu? Ya memang ada. Tapi coba kita tanyakan pada yang bersangkutan apakah untuk pertama kali dia menilai pasangannya itu dalam kondisi yang sebenarnya. Saya rasa sebagai pria, maka insting inderawinya lah yang pertama kali akan bekerja. Adapun pada akhirnya dia menentukan wanita tersebut sebagai pendamping hidupnya lebih dikarenakan kecantikan hati wanita tersebutlah yang dapat menutupi kekurangan kondisi fisiknya. Kecantikan hati memang luar biasa! Keberadaannya tersembunyi dari penglihatan mata, namun dapat dirasakan kesejukannya oleh seluruh jiwa. Itu lah esensi dari kecantikan seorang wanita.

Selasa, 03 November 2009

Putra Mahkota Jepang yang Merakyat




Pada video tersebut terlihat ayah dan ibunya si Aiko, yang tidak lain adalah anak dari kaisar Jepang.

Sebuah pemandangan yang jarang ada di Indonesia dimana mereka (orang tua Aiko) begitu membaur dengan warga Jepang lainnya dan bahkan duduk di bangku biasa tanpa adanya perlakukan khusus padahal sang ayah adalah putera mahkota.

Itulah yang saya sukai bila berada di negara maju seperti Jepang karena biasanya mereka tidak mengenal kata si miskin dan si kaya, semuanya mendapat perlakukan yang sama.

Saya kadang hanya sedih melihat pejabat disini dekat dengan rakyat apabila ada maunya, seperti pada saat dekat pemilu

Menyelami Hati dan Perasaan Wanita

Secara latar belakang pendidikan, saya memang bukan seorang psikolog. Tapi saya selalu tertarik mengamati sifat dan sikap yang dilakukan setiap orang. Bahkan sering kali ada beberapa orang yang merasa salah faham, terganggu, atau bahkan GR karena saya melihat atau memperhatikan orang itu secara mendalam. Padahal di balik itu sebenarnya saya hanya mencoba mengamati siapakah sebenarnya pribadi orang itu. Maaf ya... hehehe...

Ada sebuah ungkapan yang menarik untuk mengawali tulisan saya kali ini, yaitu "Hati wanita ibarat sebuah palung di lautan, begitu dalamnya sehingga engkau hampir tak akan menemui dasarnya." Ada juga ungkapan lain yang lebih umum terdengar dalam keseharian kita, yaitu "Perempuan adalah 80 persen perasaan, dan hanya 20 persen akal." Ungkapan kedua tersebut tentunya bukan bermaksud merendahkan martabat perempuan seolah-olah tidak berakal. Sebab pada kenyataannya sekarang banyak juga kita jumpai perempuan-perempuan berotak cerdas.

Sepertinya menarik kalau kita dalami makna dari kedua ungkapan tersebut dari sudut pandang psikologi. Berdasarkan hobi saya tadi - mengamati sifat orang (hehehe...) - saya belajar cukup banyak dari hal itu. Dan akhirnya saya bisa menarik kesimpulan bahwa kedua ungkapan yang saya sebutkan di atas itu memang benar. Bahkan setelah saya membaca beberapa literatur, ternyata hal tersebut saat ini bahkan bisa dibuktikan secara ilmiah dan tidak terbantahkan.

Kalau kita lihat anatomi otak manusia. Ternyata ada perbedaan yang sangat mendasar antara jumlah sel otak perempuan dengan sel otak laki-laki. Menurut penelitian, jumlah sel otak laki-laki kurang lebih 2 milyar sel otak lebih banyak dibandingkan sel otak perempuan. Walaupun jumlah banyaknya sel otak tidak selalu mempengaruhi kecerdasan seseorang, sebab kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh tingkat konektivitas dan koordinasi antar jaringan sel otak. Namun, perbedaan jumlah sel otak ini nampaknya bisa dijadikan salah satu alasan mengapa perempuan lebih dominan menggunakan perasaannya tadi ketimbang akalnya.

Menariknya lagi, walaupun pada umumnya sama, ternyata pola perilaku perempuan juga adakalanya bisa berbeda tergantung tingkatan usia, latar belakang pendidikan, lingkungan sosial, dan keluarga. Contohnya saja dalam hal ketertarikan terhadap lawan jenis. Dalam beberapa kesempatan saya pernah menanyakan langsung pada beberapa orang teman perempuan saya. Saya tanyakan pada mereka tentang sosok laki-laki idaman mereka itu yang seperti apa? Dari riset kecil-kecilan itu saya mendapat beberapa gambaran. Ternyata mereka yang usianya masih dikategorikan remaja menjawab bahwa faktor fisik lah yang menjadi bahan pertimbangan mereka untuk menilai seorang pria itu 'baik'. Kata 'baik' yang saya maksud di sini adalah bukan 'baik' dalam artian memiliki sifat yang baik, tetapi lebih pada sebuah kata yang maknanya dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Sedangkan mereka yang usianya dinilai sudah cukup untuk menikah, ternyata lebih mengenyampingkan faktor fisik dan lebih memperhatikan sifat-sifat yang bisa mereka rasakan secara perasaan. Tetapi walaupun dari situ sudah berbeda, menariknya mungkin hampir 90 % perempuan yang saya tanyakan pendapatnya itu ternyata lebih menyukai sosok laki-laki yang "cool" dan cenderung bersikap seperlunya ketimbang yang "pecicilan".

Perempuan yang masih remaja, secara biologis selalu ingin tampil menarik secara seksual. Dia mulai menilai dirinya dengan melihat rekan-rekan sebayanya dan citra perempuan menarik seperti yang digambarkan di media-media. Mereka lebih menilai segala sesuatu sekali lagi lebih kepada pengamatan indera yang berujung pada kondisi fisik seseorang atau dirinya sendiri saja. Lalu apakah itu wajar atau tidak? Jika saya coba jelaskan secara faktor fisiologis hormon dan organ-organ tubuh, hal ini sebenarnya wajar-wajar saja. Semua ini terjadi karena adanya jeda antara masa kanak-kanak (juvenil) sudah berakhir dan masuk pada masa remaja. Ketika peralihan itu, sel-sel hipotalamus otak akan memacu sel-sel hipotalamus pituitari indung telur untuk terus bereaksi. Inilah untuk pertama kalinya otak mereka akan diredam dalam hormon estrogen berjumlah besar. Dari sini pun kita bisa tahu bahwa kebanyakan perempuan itu benci konflik hubungan.

Berbeda dengan perempuan yang masih dalam jenjang usia remaja, mereka para perempuan yang sudah bisa dikatakan melewati masa remaja memiliki cara pandang berbeda terhadap lawan jenisnya. Saat ini, elemen-elemen fisik yang ada pada tubuh laki-laki tidak lagi menjadi bahan pertimbangan yang utama bagi mereka. Walaupun belum tentu itu menjadi sama sekali dikesampingkan. Namun, faktor-faktor lain di luar fisik lah yang ternyata lebih mereka pertimbangkan. Hal ini sudah dibuktikan oleh psikolog David Buss. Beliau melakukan penelitian selama 5 tahun. Beliau meneliti preferensi pasangan lebih dari 10.000 individu dari 30 kebudayaan di seluruh dunia dari Jerman Barat dan Taiwan, bahkan sampai suku Pigmi dan suku Eskimo. Hasilnya, dia menemukan bahwa dalam setiap kebudayaan, perempuan tidak begitu mempersoalkan daya tarik visual seorang calon suami dan lebih tertarik pada attitude (sikap), kecerdasan, kekayaan materi, atau status sosialnya. Selanjutnya akan ada dasar pertimbangan juga bagi wanita bahwa kelak di lelaki ini lah yang akan 'menghidupi' dia dan anak-anaknya. Sehingga pola pikir ini lah yang selanjutnya membuat perempuan dewasa menentukan pilihan yang paling aman bagi mereka. Mereka akan cenderung memilih berpasangan dengan laki-laki yang kemungkinan besar akan tetap mendampinginya, melindunginya dan anak-anaknya, serta mempermudah akses terhadap pangan, papan, dan sumber daya lainnya. Walaupun secara fisik ia sendiri mungkin menilai bahwa calon pasangannya tidak terlalu ideal atau tampan.