Rabu, 09 Desember 2009

Kuhamparkan Sajadahku di Negeri Samurai

Hidup sebagai seorang muslim di negara yang mayoritas penduduknya muslim, terkadang membuat muslim di negara tersebut kurang menyadari kenikmatan mereka dalam berislam. Mengapa begitu? Betapa tidak, segala fasilitas yang mendukung peribadatan maupun keperluan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang muslim begitu mudah didapatkan. Masjid ada di mana-mana. Masjid satu dengan masjid lainnya terkadang bahkan hanya dipisahkan oleh jarak yang tidak lebih dari 100 meter saja. Musholla bisa ditemui hampir di setiap tempat dan sarana umum. Ruang dakwah begitu terbuka lebar. Kita bisa dengan sangat mudah menemukan tempat-tempat pengajian. Segala kemudahan-kemudahan tersebutlah yang terkadang membuat seorang muslim menjadi tidak begitu menyadari bahwa semua itu merupakan bentuk nikmat yang Allah berikan.

Namun, kondisi seperti itu akan sangat berbanding terbalik dengan kehidupan para muslim yang ada di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Terlebih lagi bagi sebuah negara yang bernama Jepang. Jangankan yang penduduknya pemeluk agama selain Islam, tetapi justru yang namanya "agama" di negeri sakura nampaknya bukan sesuatu yang dianggap penting oleh penduduknya sendiri. Mungkin bagi teman-teman hal seperti itu bukan suatu hal yang wajar. Di mana setiap orang bisa sangat bebasnya menganut pemahaman bahwa agama bukan suatu hal yang penting. Tapi bagi masyarakat Jepang, hal tersebut memang sudah menjadi anggapan yang sangat umum. Oleh karena itu, jangan langsung percaya ketika ada orang Jepang yang memakai simbol-simbol agama tertentu dalam cara berpakaian mereka. Sebab itu belum tentu menggambarkan agama sebenarnya yang dia anut.

Sebagai contoh saja, ada seorang teman nihon jin yang se-kampus dengan saya saat itu, mengenakan kalung salib di lehernya. Saat itu yang ada dalam pikiran saya adalah langsung menebak bahwa dia seorang Nasrani. Tapi kemudian saya dibuat bingung ketika suatu hari dia pernah bercerita pada saya, bahwa dia baru saja mengikuti upacara dalam agama Shinto. "Lho... bagaimana bisa seseorang bisa memiliki dua agama sekaligus?" Begitulah pertanyaan yang ada di dalam benak saya. Tetapi setelah saya tanyakan, ternyata dia sendiri mengaku tidak punya agama. Kalung salib yang dia pakai tidak lebih hanya sebagai mode fashion semata, sedangkan Shinto hanya ia anggap sebagai suatu tradisi yang perlu ia jaga. Terus terang saja, pada awalnya saya dibuat bingung dan terkejut oleh perilaku teman saya tersebut. Tapi lama kelamaan, setelah saya bergaul dengan lebih banyak lagi orang Jepang, akhirnya saya menyadari bahwa sikap seperti itu memang sangat umum bagi masyarakat Jepang.

Ketika saya menginjakkan kaki untuk kedua kalinya di bumi Sakura, tahun 2005 yang lalu, saya tidak begitu menyadari "keanehan" seperti yang saya ceritakan di atas. Saya tahu bahwa Jepang adalah negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Hal lain yang saya tahu, Jepang adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Shinto atau Buddha. Walaupun sebelumnya saya pun pernah mendengar cerita dari ayah saya bahwa sebenarnya banyak orang Jepang yang tak beragama. Akan tetapi saat itu saya tidak langsung percaya. Saya baru percaya setelah akhirnya semua itu saya alami dan rasakan sendiri.

Dulu, sebelum keberangkatan ke Jepang, saya pernah punya sebuah tujuan yang saya anggap lebih mulia daripada sekedar menuntut ilmu di negeri Samurai itu. Tujuan mulia itu adalah tentu saja dakwah. Ikut ambil bagian dalam mensyiarkan agama Islam yang mulia di Jepang. Niat yang sejak awal begitu menggebu-gebu tersebut, akhirnya lama kelamaan harus banyak terbentur dengan segala keterbatasan. Persiapan mental yang sudah saya lakukan sebelum keberangkatan ternyata harus dihadapkan pada sebuah kenyataan betapa sulitnya menjadi seorang muslim di Jepang. Jangankan untuk berdakwah pada masyarakat Jepang, untuk memenuhi kebutuhan beribadah diri sendiri saja saat itu cukup menyulitkan.

Ketika di Indonesia, saya berusaha membiasakan diri untuk shalat tepat pada waktunya. Terkadang kalau sedang dalam perjalanan atau di luar rumah, dan saat itu sudah masuk waktu shalat, biasanya saya sempatkan untuk mencari masjid terdekat yang ada di sekitar tempat saya berada untuk shalat. Tetapi hal seperti itu hampir tidak dapat saya lakukan selama di Jepang. Rutinitas sebagai kenkyusei saat itu mengharuskan saya banyak bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Sewaktu-waktu saya harus mencari literatur dari satu perpusatakaan ke perpustakaan lain. Berpindah lab dari satu lab ke lab lain, dan seterusnya. Ada kalanya ketika sedang dalam perjalanan, tiba waktu shalat. Dalam kondisi seperti itu, tentu bukan suatu hal yang mudah untuk mencari tempat shalat seperti di Indonesia. Jangankan masjid, musholla saja tidak ada.

Kalau sudah dalam kondisi seperti itu, pada awalnya saya suka meng'qodo shalat. Walaupun sebenarnya dalam hati ada juga perasaan bersalah ketika saya meng'qodo shalat. Karena menurut saya, perjalanan yang saya tempuh tidak begitu jauh. Apalagi dengan sistem transportasi di Jepang yang sudah sangat tertib dan nyaman. Baik chikatetsu ataupun densha, semua jam perjalanannya sudah terjadwal dengan baik dan dijamin tidak akan terlambat. Sehingga memungkinkan bagi kita untuk memperhitungkan waktu perjalanan tanpa harus khawatir terlambat karena kendala transportasi seperti mogok atau macet. Saya khawatir kondisi saya pada saat itu tidak cukup dijadikan alasan untuk meng'qodo shalat. Dan jika sudah seperti itu, maka tidak ada cara lain selain tetap shalat walaupun bukan di tempat yang selayaknya untuk shalat.

Oleh karena itu, mulai saat itu saya selalu membawa sajadah yang saya simpan dalam ransel ke manapun saya pergi. Pengalaman pertama ketika saya harus shalat di tempat umum adalah ketika sedang jalan-jalan di sebuah koen. Saat itu sudah tiba waktu dzuhur. Sedangkan saat itu kondisinya sepertinya tidak memungkinkan jika saya harus shalat di masjid atau musholla. Karena di dekat sana tidak ada masjid atau musholla. Akhirnya saya putuskan untuk shalat di tempat itu juga. Saya berwudhu di toilet yang ada di tempat tersebut. Kemudian saya cari tempat yang bersih, tidak di tengah keramaian orang, dan memungkinkan untuk melakukan shalat dengan tenang. Setelah mengamati lingkungan sekitar, akhirnya dapat juga tempat yang cukup nyaman. Tempatnya di belakang papan besar yang bergambarkan peta lokasi koen tersebut. Saya hamparkan sajadah dan memulai shalat di sana.

Setelah sampai pada rakaat kedua, saya lihat di depan ternyata ada seorang anak kecil yang terus saja memperhatikan saya sambil menunjuk-nunjuk ke arah saya. Anak itu tetap saja terlihat walaupun saya sudah menundukkan pandangan ke tempat sujud. Karena merasa terganggu, maka saya pun menutup mata dan terus saja shalat. Tak lama kemudian ternyata anak itu datang lagi, kali ini dengan ibunya. Ternyata dia malah mengajak ibunya untuk melihat gerakan shalat yang saya lakukan. Walaupun tahu bahwa saya tengah jadi objek tontonan bagi mereka, saya berusaha tidak mempedulikan keberadaan mereka dan tetap shalat.

Karena terus merasa diawasi, akhirnya saya terus shalat sambil menutup mata sampai selesai. Setelah selesai dan mengucapkan salam, saya baru membuka mata, dan saya dapati mereka berdua ternyata sudah tidak ada di hadapan saya. "Alhamdulillah sudah shalat, lega..." Gumam saya dalam hati. Segera saja saya lipat sajadah dan memasukkannya kembali ke dalam ransel.

Ketika saya keluar dari balik papan peta lokasi yang besar itu, ternyata anak kecil dan ibu itu masih ada di bagian depan papan. Saya pun tersenyum pada mereka berdua. Ketika saya hendak pergi, sang ibu malah memanggil saya.

"Maaf, apakah saya bisa bertanya sedikit?" Kata si ibu.

"Oh... silahkan, ada apa?" Jawab saya.

"Begini, perkenalkan ini anak saya, namanya Taro, dia tadi bertanya pada saya tentang yang Anda lakukan di balik papan tadi, saya tidak bisa menjawabnya, tapi Taro sangat ingin tahu apa yang Anda lakukan. Saya khawatir memberikan jawaban yang salah pada anak saya. Jadi bisakah Anda menjelaskan gerakan apa yang Anda lakukan tadi di balik papan itu?" Tanya sang ibu.

Saya pun tersenyum mendengar pertanyaan si ibu tadi. Lalu saya jawab, "Tadi saya sedang shalat."

"Shalat? apa itu shalat?" Ibu itu balik bertanya dan nampak kesulitan menyebutkan kata "shalat" dengan lidah Jepangnya.

Kemudian saya berusaha menjelaskan kepada ibu tersebut semampunya yang saya bisa. Saya katakan bahwa shalat adalah ibadah yang harus dilakukan oleh orang beragama Islam, sama seperti ketika ibu melakukan upacara Shinto. Si ibu pun akhirnya mengerti apa yang tadi saya lakukan dan dia pun menjelaskan pada anaknya seperti yang saya katakan.

Begitulah... menyikapi perlakuan seperti itu memang dibutuhkan sikap yang hanif (lurus) dan ahsan (baik). Sebab anggapan mereka yang menyatakan bahwa shalat adalah gerakan-gerakan yang aneh, boleh jadi dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang shalat itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang bijaksana dari kita sendiri untuk menghadapinya. Jangan sampai perlakuan seperti itu malah menjadikan kita malu untuk shalat di tempat umum jika memang sudah waktunya shalat. Sebab semakin sering orang Jepang (nonmuslim) melihat kita shalat, insya Allah lama kelamaan mereka pun akan semakin mengerti akan keharusan tersebut.

Ini hanya sebuah catatan kecil yang ingin saya sampaikan pada teman-teman semua. Pada intinya, janganlah karena suatu alasan yang tidak terlalu mendesak, maka kita melalaikan shalat. Shalat bisa di mana saja dan kapan saja, tentunya selama memenuhi syarat sahnya shalat. Jadi bersyukurlah bagi kita yang hidup di negara mayoritas muslim. Di mana berbagai kemudahan fasilitas beribadah bisa kita dapatkan. Tidak seperti saudara-saudara kita yang saat ini tengah hidup sebagai muslim di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

*****

Kamus mini:

1. Nihon jin : Orang Jepang asli
2. Senpai : Senior / kakak kelas
3. Kenkyusei : Mahasiswa riset
4. Chikatetsu : Kereta bawah tanah (subway)
5. Densha : Kereta rel biasa
6. Koen : Taman kota

10 komentar:

  1. Okeh kak.ntar pas aku kesana bakal kupraktekin sholat di tempat umum kalo g nemu mushola atau mesjid.. :D
    *amin*

    BalasHapus
  2. subnhanallah..
    terimakasih atas ilmunya.

    BalasHapus
  3. wah semoga sukse disana.....
    sy sering baca tulisan antum, sharing yg bnyk bermanfaat...lanjutkan!!!!

    BalasHapus
  4. :) bagus...bagus..Alhamdulillah..

    BalasHapus
  5. subhanalloh, tanpa disangka dgn cra yg bgaimana, Alloh membrikan kesempatan untk menyampaikan indahnya islam, walaupun hny penjelasan tentang sholat.

    BalasHapus