Sabtu, 12 Desember 2009

Kamisama no Okurimono (Hidayah dari Tuhan)

Di masa-masa awal memasuki dunia kampus, hampir bisa dibilang tidak berhubungan sama sekali dengan sesuatu yang orang sebut sebagai "agama". Dan saat-saat pertama masuk kuliah pun saya masih selalu berpikir bahwa memang tidak ada urgensi (kepentingan) untuk mempunyai agama.

Pikiran itu berubah ketika saya masuk kuliah. Yakni ketika saya bergabung dengan klub pecinta alam. Saya berpikir, mungkin akan asyik bergabung dengan klub pecinta alam di universitas saya tersebut. Dalam klub ini banyak sekali mahasiswa luar negeri (antara lain dari Indonesia dan Thailand). Dan kebanyakan dari mahasiswa tersebut adalah pemeluk Islam (muslim). Akan tetapi hal itu tak mengubah penafsiran awal, bahwa memang tidak ada "kepentingan yang mendesak" untuk memeluk suatu agama bagi saya.

Dari anggota klub pecinta alam yang lain, saya banyak mengetahui tentang Islam dan kehidupan para muslim di sekitar saya. Saat itu saya tidak melihat agama Islam sebagai sebuah pilihan, akan tetapi saya berpikir bahwa semua agama itu sama. Begitulah, seperti sebelumnya saya tidak tertarik sama sekali menjadi anggota dari orang yang memeluk suatu agama. Banyak hal yang terdengar, dan saya hanya merespon ringan: "Oh begitu ya?" Tidak ada yang berbekas banyak di hati saya. Ibarat berjalan di atas pasir kering, telapak kaki tertinggal hanya beberapa saat saja. Ia akan hilang tertimbun bersama pasir lain.

Sampai suatu hari saya mengikuti sebuah diskusi "Tentang Keberadaan Tuhan". Hal yang amat membekas di dalam hati, dan entah kenapa saya menyetujui bahwa "Tuhan itu Esa". Dan tanpa saya sadari, kehidupan biasa saya pun menghadapi perubahan. Pada musim semi di tingkat dua, saya berkesempatan mengunjungi Indonesia selama satu bulan, menghabiskan libur musim panas. Saya menghabiskan masa liburan dengan berkunjung ke rumah tiga muslim teman kuliah saya. Di sinilah benih-benih hidayah Allah mulai terasa tumbuh di hati.

Kesan saya tentang Islam yang hanya sebatas harus shalat lima waktu dan susah mencari makanan halal itu, menjadi berubah. Di Indonesia, saya sangat terkejut karena tidak ada kesulitan untuk mencari makanan halal. Orang Indonesia bisa berbelanja di supermarket aneka barang yang halal dan dengan bebas. Sama sekali tidak susah.

Kesan saya terhadap masjid pun berubah. Semula bagi saya, masjid adalah tempat ibadah suci, tempat saya yang tak tersentuh, dan tentu, bukan bagian dari kehidupan saya. Tetapi begitu saya ikut teman ke masjid, saya merasa suasana yang berbeda dengan image awal tadi. Ternyata, saya melihat masjid menjadi tempat yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, termasuk diri saya. Suasana yang sebelumnya begitu jauh dari saya, terasa begitu dekat. Masya Allah... saya merasa bahwa Islam itu begitu dekat.

Seiring banyaknya pengalaman yang mendekatkan saya dengan agama Islam, ketika berada di Indonesia saat itu, membuat keinginan saya masuk Islam menjadi kuat. Maka saat itulah saya memutuskan untuk masuk Islam, dari hati terdalam. Mulanya ketika saya masuk Islam, saya hanya ingin disaksikan oleh teman-teman dekat saja. Tetapi skenario Allah SWT tidaklah demikian. Sewaktu kami tiba di masjid, di sana sedang diadakan pengajian umum. Para jamaah sepakat memutuskan agar saya bersyahadat setelah pengajian usai. Jadilah peristiwa saya masuk Islam disaksikan oleh banyak peserta pengajian. Saya pun berislam di tengah-tengah calon saudara seiman saya. Ya, banyak mata yang menyaksikan peristiwa sakral itu...

Dahulu saya berpikir bahwa masuk Islam adalah hal yang sangat sulit. Namun saat saya berikrar menjadi muslim dengan bersyahadat, semua begitu mudah dan cepat! Dalam hati sempat bertanya tak yakin, "Benar nih, saya sudah masuk Islam?" Setelah selesai bersyahadat, semua peserta pengajian menghampiri dan memberikan selamat kepada saya. Salam dan pelukan sebagai ungkapan selamat, datang dari hadirin mendekap saya hangat. Di situlah akhirnya yakin bahwa saya sudah menjadi muslim. Alhamdulillah... Allahu Akbar.

Perasaan saya saat itu, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, haru biru meletup di kalbu. Tak terasa air mata mengalir begitu saja. Saya sadari, hanya  karena Allah Ta'ala saya bisa menjadi pengikut Rasulullah SAW. Alhamdulillah... sungguh saya bersyukur kepada Allah, mendapatkan karunia ini. Bahagia tiada terperi.

Sekembalinya saya di Jepang, sambil bertanya kepada teman-teman muslim di kampus, sedikit demi sedikit saya mulai belajar tentang agama Islam. Banyak kekhawatiran saya ketika mempelajari tentang agama ini. Namun satu persatu saya coba tempuh. Sekarang saya sangat bersyukur bisa menjadi muslim; pemeluk agama Islam. Dalam Al-Quran yang mulia itu Allah telah menyebutkan keberuntungan ini. "Hai orang-orang yang beriman, dan janganlah sekali-kali kamu  mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali-Imran: 102).

Sekarang saya sudah berkeluarga, telah menikah dengan seorang istri yang juga teman muslim di masa kuliah dulu. Berkah pun bertambah ketika dua putra dan seorang putri cantik telah hadir menemani kami. Berkat dukungannyalah saya bisa hidup di Jepang sebagai seorang muslim hingga hari ini. Walau saya tidak pernah mengungkapkannya dalam kehidupan sehari-hari, lewat forum ini saya ucapkan "Sungguh terima kasih atas dukunganmu belahan hidupku, istriku, Dewi."

*****

Catatan di atas adalah cerita pengalaman berislamnya pak Takanubo Muto, mualaf dari Jepang, yang disampaikan lalu diterjemahkan oleh mbak Rakhma Kumala Dewi (istri pak Takanobu Muto), dan dilengkapi oleh mbak Rose FN, dalam Hikari no Michi.

3 komentar:

  1. makasih udah baca hikari no michi ^-^

    BalasHapus
  2. hehehe... sama2 mbak tethy... :)
    cerita dalam buku itu bagus2 semua... kadang sampai terharu & menangis saya bacanya...
    ohya... saya dan teman2 FLP Jepang lagi ngegarap novel keroyokan juga, tentang pengalaman lucu & unik masing2 selama di Jepang. mohon doanya semoga cepat selesai... soalnya lagi pada sibuk sama kegiatan di lab-nya masing2 sih... hehehe... ^__^ v

    BalasHapus
  3. Memang hidayah itu terkadang datang dengan tidak disadari, perlahan namun pasti. Btw Mas Dimas ikut FLP Jepang juga ya?

    BalasHapus