Kamis, 17 Desember 2009

Sepuluh Tahun Sudah Aku Ada Dalam Dakwah Ini

Liqo. Pertama kali dalam hidup saya mengikutinya pada tahun 2000. Ketika itu saya masih kelas 3 SMP. Berawal dari sebuah pengajian agama yang suka diadakan keluarga saya. Kami biasa belajar agama sekeluarga dengan mengundang seorang ustadz ke rumah. Pengajian, yang selanjutnya saya kenal dengan istilah liqo tersebut biasa kami adakan seminggu sekali setiap hari Ahad. Ustadz yang kami undang tidak lain adalah tetangga kami dekat rumah, suaminya teman pengajian ummi saya. Materi yang diajarkan sang ustadz pun menurut saya sangat umum. Intinya mengajarkan hal-hal yang sangat mendasar dalam Islam, tetapi justru sangat penting peranannya karena bisa dibilang seperti awal pondasi dalam suatu bangunan. Seperti misalnya bagaimana kita mengenal Tuhan, Rasul, makna dan esensi dalam kalimat syahadat, tauhid, shalat, zakat, shaum, dll. Tidak ada sesuatu yang saya anggap "spesial" (pada awalnya) dan hampir sama seperti pengajian-pengajian umum yang suka diadakan di masjid-masjid.

Hingga suatu saat, ustadz meminta kepada saya dan kedua orangtua saya agar mengikuti jenjang yang lebih dikhususkan lagi. Alasan ustadz saat itu, karena beliau menganggap seharusnya saya mendapatkan materi yang lebih mendalam. Karena saya bisa dibilang lebih cepat dalam menangkap apa yang dipelajari. Akhirnya, saya pun menambah jam ngaji saya dengan seorang ustadz yang lain, walaupun saya juga suka tetap ikut kalau ada jadwal pengajian di rumah.

Setelah beberapa kali mengikuti pengajian yang kata ustadz lebih disesuaikan proporsi materinya tersebut, saya merasa memang ada sesuatu yang berbeda dengan apa yang diajarkan di pengajian di rumah dengan di ustadz yang lain tersebut. Bahkan saya sempat merasa kaget ketika suatu saat ustadz mengatakan agar selalu merahasiakan segala apa yang diberikan selama pertemuan. Saya kaget bukan karena harus merahasiakannya. Tapi yang membuat saya kaget adalah, mengapa materi yang menurut saya, sebenarnya tidak rahasia-rahasia amat kok harus dirahasiakan. Bahkan ketika itu kelompok pengajian saya harus memasukkan semua sandal yang kami pakai ke dalam rumah sang ustadz, dan tidak membiarkannya tercecer di depan pintu rumah. Ketika saya tanya alasannya, waktu itu ustadz hanya menjawab, "supaya tidak mencolok kalau di rumah saya sedang banyak orang lagi ngaji."

Saya adalah tipikal orang yang cukup kritis. Jika ada sesuatu hal yang saya rasa tidak dapat saya terima, maka biasanya saya selalu meminta penjelasan tentang hal tersebut. Termasuk tentang keharusan menjaga rahasia kegiatan pengajian yang kami lakukan pada saat itu. Tapi karena ustadz saya dapat menjelaskan dengan baik, dan alasannya dapat saya terima, maka saya pun bersikap taat kepada beliau dan menjaga amanah itu dengan baik.

Begitulah liqo pada awal kemunculannya di permukaan yang saya kenal dan rasakan. Namun setelah kurang lebih satu tahun kemudian, tepatnya tahun 2001, kesan rahasia itu pun makin luntur. Ustadz menjelaskan pada saya bahwa sekarang sudah bukan era-nya lagi kita "sembunyi-sembunyi", sudah saatnya lebih banyak lagi orang yang kita ajak dalam dakwah ini. Itu pula alasan yang membuat saya berani untuk memposting tulisan ini.

Mungkin bagi sebagian orang ada yang bertanya-tanya mengapa dulu liqo diadakan secara sembunyi-sembunyi. Para kader dakwah yang baru terlibat dalam liqo setelah era keterbukaan itu pun mungkin hanya bisa mendengar alasan itu dari para murabbi / murabbiah mereka masing-masing, tanpa pernah merasakan suasana yang dulu dirasakan para pendahulu mereka. Pada mulanya, liqo dilakukan dengan sedikit tersembunyi atau tidak terlalu terbuka. Sekali lagi, maklum, sebab utamanya adalah Orde Baru dan kekuasaan yang tak menghendaki kekuatan lain tumbuh dan menguatkan diri. Tetapi, kian lama kegiatan-kegiatan liqo semakin terbuka, karena memang, tidak satu pun rahasia atau semacam agenda konspirasi yang dibahas dalam pertemuan-pertemuan semacam ini. Liqo membahas masalah-masalah pendidikan karakter dan pribadi, mengajak orang dalam kebaikan, dan berbagi pengalaman dalam konteks keberagamaan.

Sejak dicanangkannya keterbukaan bagi gerakan dakwah ini. Menurut pengamatan saya, gerakan ini semakin tumbuh dengan signifikan. Gerakan ini lah yang selanjutnya lebih dikenal dengan "Tarbiyah". Akhirnya, kampus, diakui atau tidak, menjadi semacam inkubator bagi proses gerakan Tarbiyah. Masa kuliah telah menjadi masa inkubasi bagi para aktivis dakwah Tarbiyah. Masjid-masjid kampus mulai makmur dengan kehadiran mereka, jilbaber-jilbaber pun kian tahun kian banyak ditemui di dalam kampus. Dan, yang paling signifikan adalah, tak hanya ilmu-ilmu eksakta dan humaniora yang mereka pelajari dari kampus-kampus tempat mereka kuliah, tapi juga ilmu-ilmu agama lewat daurah dan dakwah gerakan Tarbiyah.

Tak ayal, bahkan saya sendiri pun pernah dicap sebagai penganut "aliran menyimpang" hanya karena terlihat "berbeda" dengan kebanyakan masyarakat sekitar rumah. Pertentangan itu semakin nyata saya terima ketika saya menjadi ketua perkumpulan remaja masjid dekat rumah. Saya menggerakkan sekelompok pemuda di lingkungan rumah dalam kegiatan dakwah Tarbiyah ini. Mereka anak-anak muda yang berbasis di mushala dan masjid-masjid ini menciptakan ruang maya di tengah masyarakat. Mereka bisa menciptakan sebuah ruang kultural yang bisa dilihat, tapi sulit untuk dilacak dan dibuktikan eksistensinya. Masyarakat sempat dibuat bingung dengan anak-anak muda yang terus lahir, tumbuh, dan hidup di tengah-tengah mereka sendiri, tetapi berbeda ekspresinya dengan masyarakat kebanyakan.

Mereka terus bergerak, membangun pertumbuhan-pertumbuhan lewat liqo-liqo atau halaqoh yang setiap pekan rutin mengadakan pertemuan. Liqo dalam bahasa asalnya, Arab, berarti pertemuan, dan halaqoh adalah kelompok dari pertemuan itu. Tetapi, dalam komunitas Tarbiyah, kata tersebut digunakan untuk terminologi pertemuan dalam rangka pembinaan, baik tentang pemahaman Islam, moral dan akhlak, dakwah dan sosial maupun tentang pendidikan politik dan juga pemikiran.

Salah satu yang layak dicatat sebagai faktor penentu perkembangan dakwah gerakan Tarbiyah ini adalah semangat mereka untuk berbagi kebaikan, seluas mungkin, sebanyak mungkin. Para aktivis Tarbiyah tak menunggu sampai memiliki bertumpuk-tumpuk ilmu, beratus-ratus hafalan hadits atau berjuz-juz hafalan qur’an untuk berdakwah. Satu hadits yang mereka dapatkan dalam pertemuan mingguan, atau satu ayat yang mereka bahas dalam liqo akan segera mereka sebarkan dengan semangat berbagi kebaikan, berbagi ilmu, dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Mereka mencoba benar-benar mengaplikasikan sebuah hadits dan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, Balighu anni walau ayah. Sampaikan dariku walau hanya satu ayat.

Sekarang, sekitar sepuluh tahun sudah saya berkecimpung dalam dakwah ini. Cukup banyak transformasi atau perubahan yang saya rasakan selama perjalanan ini. Ada yang positif, tapi tidak sedikit juga yang negatif. Saya ingin menggaris bawahi, bahwa kalaupun ada yang negatif, saya percaya itu bukan dikarenakan dakwah ini yang salah, tapi lebih dikarenakan sikap dan pemahaman para kader pendakwahnya itu sendiri yang lemah. Saya tidak ingin mengevaluasi siapa pun secara lebih khusus, karena saya sendiri pun masih butuh banyak sekali evaluasi. Hanya saja perlu menjadi catatan bersama bagi kita yang sama-sama ingin dalam satu barisan berdakwah di jalan ini, sudah saatnya kita mengambil banyak pelajaran dari para pendahulu kita. Sebab boleh jadi hal buruk yang kita alami di masa sekarang masih belum ada apa-apanya dengan yang dialami pendahulu kita.

Teringat perkataan seorang umahat, ibu angkat saya, pernah berkata, "Dulu kami berjuang dan berkontribusi di tengah kesempatan yang sempit, sementara sekarang seharusnya para kader dapat bergerak lebih leluasa lagi. Oleh karena itu jangan pernah lalai dalam setiap kesempatan. Teruslah bergerak sampai hanya ada satu hal yang benar-benar dapat membuat kita berhenti bergerak dalam dakwah, itulah kematian."

Wallahu'alam...

12 komentar:

  1. jzk atas sharenya...
    semoga menambah semangat dlm beramal.

    BalasHapus
  2. hmmm... 10 tahun ya? hampir sama donk... :)

    BalasHapus
  3. Insyaallah... Smg setiap langkah ini selalu bernilai dakwah, Allahuakbar...

    BalasHapus
  4. 10 tahun ya? saya belum ada separuhnya. :)

    BalasHapus
  5. alhamdulillah.... semoga diberikan semangat yang terus-menerus tiada henti.

    BalasHapus
  6. iya lah...
    secara k' Akmal kan lebih senior (baca: tua)
    hwehehehehe.... pisss kang! (^__^)v

    BalasHapus
  7. amin..amin... saling mendoakan insyaAllah.. :)

    BalasHapus
  8. insyaAllah tidak selalu harus yg lebih lama yg lebih baik. tapi yg paling banyak berkontribusi dengan ikhlas dalam waktu yg belum seberapa lah yg paling baik.

    BalasHapus
  9. Setuju..sedelapan..sesembilan untuk nasihat penutupnya..

    BalasHapus
  10. Apakah pengajian itu mengumpulkan infaq "WAJIB"?Apakah pengajian itu suami istri wajib sama2 ijut?sy pernh ikut ngaji itu,karena kesibukan kantor sy berenti,tapi istri jln terus, sdh t thn, suatu ketika istri pulang ngaji nangis karen ditegur guru,knapa suami ga ikut lg, karena hal itu istri dikeluarkan dr grup ngaji yg katanya udh level atas, dan ga tau msh boleh ikut atau ga.apakh itu pengajian yg menyimpang?

    BalasHapus