Senin, 31 Mei 2010

Ritual Menyambut Pembunuhan yang Dilakukan Yahudi

Untuk kesekian kalinya Israel memamerkan arogansinya di depan hidung dunia internasional. Misi kemanusiaan di bawah bendera Freedom Frotilla di atas kapal Mavi Marmara menuju pelabuhan Ghaza diserang tentara Israel. Menurut data yang beredar, 19 relawan dunia meninggal, dan sekitar 30-an lainnya terluka. Aksi seperti ini bukan sekarang saja. Sudah menjadi “ritual” Israel, menumpahkan darah manusia secara zhalim, sambil menari-nari memamerkan tawanya yang busuk.

Seperti biasa pula, publik dunia segera mengutuk aksi Israel, mengecam keras, melancarkan demo besar-besaran, menggalang dana bantuan kemanusiaan, merencanakan pertemuan DK PBB, menyiapkan resolusi khusus –yang pasti akan ditolak Amerika-, dan lain-lain. Israel mempunyai ritual khusus untuk membunuhi manusia, sementara kita juga mempunyai “ritual khusus”, yaitu melakukan demo, mengecam, mengutuk, dan seterusnya.


Setelah dikecam dunia habis-habisan, biasanya Israel akan diam untuk sementara. Kera-kera Yahudi itu biasanya akan menghentikan serangan, sambil menunggu suasana tenang di dunia internasional. Kalau masyarakat dunia sudah tenang kembali, sudah enjoy dengan dunia bola, rokok, film, pornografi, seks bebas, main facebook, main tweeter, dll. kawanan kera itu akan membuat lagi aksi-aksi kekerasan yang lain. Mereka tidak akan berhenti membunuhi manusia, wong itu sudah menjadi ritual mereka. Dan Ummat Islam pun untuk ke sekian kalinya akan membuat “ritual penyambutan” semacam demo, mengecam, mengutuk, bakar bendera, diskusi, debat internet, mengumpulkan sumbangan, dan seterusnya.

Hal-hal begini sudah terjadi berkali-kali, puluhan kali, bahkan ratusan kaki. Resolusi PBB yang “dikentuti” oleh bangsa kera itu ada sekitar 400-an. Artinya, sebanyak itu mereka melakukan “ritual” pembununuhan, dan sebanyak itu pula kita melakukan “ritual penyambutan”. Mungkin, sudah saatnya dilakukan kerjasama harmonis antara bangsa monyet Israel dengan Ummat Islam dalam “melakukan ritual” ini. Biar ritual kedua belah pihak bisa berlangsung indah, berkesan, dan penuh pesona. Allahu Akbar, laa haula wa laa quwwata illa billah.

Kaum Muslimin selama ini seperti tidak memfungsikan akalnya ketika menghadapi segala kebrutalan bangsa monyet dan babi, Israel. Kok mau-maunya kita dijadikan seperti kerbau yang dicocok hidung oleh Israel? Mereka tak henti-hentinya melakukan aksi kekerasan, sebenarnya untuk mempermainkan kita, menghina kita, dan menginjak-injak kepala kita. Di sisi lain, aksi-aksi kekerasan itu sangat mereka butuhkan untuk MENGATUR SKENARIO SEJARAH agar searah dengan misi yang mereka susun.

Ummat Islam sedunia selalu bersikap REAKTIF dan setan-setan Yahudi itu tahu karakter tersebut. Maka kita terus diprovokasi untuk melakukan reaksi demi reaksi. Ujungnya nanti, kita terjebak dalam permainan Yahudi terlaknat itu, lalu mengabaikan MISI ISLAMI yang seharusnya kita bangun. Demi Allah, sekarang ada tragedi Mavi Marmara. Nanti ke depan akan menyusul lagi tragedi-tragedi yang lain.

Modusnya sama persis. Israel akan melakukan aksi-aksi kekerasan yang bisa mengundang perhatian publik dunia (minimal dunia Islam). Setelah melakukan aksi, akan datang “ritual penyambutan” dari kaum Muslimin, berupa kecaman, kutukan, demo, mengumpulkan sumbangan, bakar bendera, seruan boikot produk, dll. Setelah ritual ini selesai, masyarakat dunia akan sibuk lagi dengan bola, film, rokok, pornografi, seks bebas, karier, jabatan, diskusi internet, pemilu, pilkada, dll. Setelah kita lengah dan sibuk, Israel akan mengulang lagi membuat aksi kekerasan. Begitu saja terus, sampai berlaku sebuah ungkapan, “Kambing congek pun tidak akan menanduk batu sampai dua kali.”

Disini ada beberapa poin penting yang perlu direnungkan:

1. Mengecam, mengutuk, demo, dan sebagainya, semua itu terbukti tidak efektif. Berapa ratus kali Ummat ini sudah mengecam, mengutuk, berdemo, lalu bagaimana hasilnya? Apakah Israel peduli dengan demo-demo itu?

2. Andaikan kita mengutuk Israel hari ini, maka bangsa itu sudah merasa terkutuk sejak jaman Musa As masih ada. Mereka berkali-kali dikutuk di jaman Musa, mereka dikutuk oleh lisan Dawud dan Isa As, bahkan Rasulullah Saw menjelaskan arti kata “al maghdhubi ‘alaihim” (yang dimurkai Allah) dalam Surat Al Fatihah, adalah bangsa Yahudi.

3. Andaikan kita heran dengan keberanian Yahudi dalam menantang dunia internasional, maka Al Qur’an sejak lama sudah memberitahu kita, bahwa Yahudi itu berani menantang Allah. Mereka berani mengatakan “Yadullahi magh-lulah” (Tangan Allah terbelenggu). Kalau kepada Allah saja mereka berani, apalagi kepada manusia biasa? Apalagi kepada orang Indonesia yang sering terkena sindrom “hangat-hangat tai ayam”? Kita selama ini “dikencingi” oleh babi-babi Yahudi itu.

4. Andaikan kita heran melihat Yahudi yang sangat sering melanggar hukum internasional, resolusi PBB, konvensi Jenewa, dll. maka Al Qur’an telah menjelaskan bahwa dulu kaum Bani Israil sering melanggar janji-janjinya kepada Allah. Termasuk ketika mereka berjanji, lalu Allah angkat bukit Tursina di atas kepala mereka. Tetap saja semua janji itu dikhianati. Tidak ada janji yang tidak dikhianati Yahudi, selain janji mereka untuk memuaskan hawa nafsu mereka sendiri.

5. Anda mungkin heran dengan kebrutalan Yahudi dan kesadisan mereka terhadap kaum Muslimin Palestina. Tetapi Al Qur’an memberitahu kita, bahwa kaum Yahudi ini sering membunuhi nabi-nabi yang diutus di tengah mereka. Di jaman Musa As saja, mereka hampir membunuh Nabi Harun As, karena beliau melarang mereka menyembah sapi betina. Jadi apa yang aneh dari kekejaman, kebrutalan, kesadisan Yahudi? Mungkin kita saja yang sering melupakan pesan Al Qur’an.

6. Yahudi melakukan aksi-aksi kekejaman bukan tanpa maksud. Apakah mereka sebodoh itu, melakukan aksi-aksi kekerasan tanpa tujuan? Tujuan Yahudi jelas. Mereka ingin memperlihatkan dirinya sebagai bangsa yang kuat, hebat, pemberani, perkasa, militan, sangat tegas, keras, pembunuh yang efektif, prajurit-prajurit yang gagah, alat-alat senjata lengkap, dan seterusnya. Dalam militer hal ini kerap disebut dengan ungkapan, show of force. Atau untuk menimbulkan efek detteren. Dengan segala aksi-aksi itu Yahudi ingin mengirim pesan kepada dunia, bahwa diri mereka besar, kuat, dan menakutkan. (Dalam Surat Al Anfaal, kita diperintahkan untuk membuat persiapan, sehingga dengan persiapan itu kita bisa menakut-nakuti musuh Allah. Hal yang sama dilakukan Yahudi terhadap masyarakat dunia, khususnya terhadap Ummat Islam. Hanya kita saja yang tidak menyadarinya).

Coba perhatikan pernyataan menarik yang disampaikan oleh PM Palestina, Al Ustadz Ismail Haniyah, ketika beliau mengomentari serangan monyet-monyet Yahudi ke kapal Mavi Marmara. Beliau menegaskan, bahwa bangsa Palestina tidak merasa aneh melihat kelakuan Yahudi itu. Kebrutalan seperti itu sudah sering mereka lakukan dan diulang-ulang terus. Jika kemudian kawanan monyet-monyet liar itu menyerang missi kemanusiaan, ia tidak aneh. (Apalagi dalam ideologi Yahudi, yang dianggap manusia adalah mereka sendiri. Selain Yahudi, dianggap binatang. Di mata Yahudi, missi Freedom Frotilla bukan dianggap misi kemanusiaan, tetapi “misi kebinatangan”).

Untuk menghadapi Yahudi sudah tidak jamannya mengecam, mengutuk, atau demo. Itu sudah terlalu kuno. Yang perlu dilakukan kaum Muslimin adalah melawan Yahudi, mematahkan mereka, memerangi mereka, atau setidaknya melemahkan kekuatan mereka. Jangan lagi mengutuk, sebab tanpa dikutuk pun, Yahudi sudah dikutuk oleh Allah sejak jaman Musa As.

Kalau ada korban, kerugian, kematian, kerusakan, atau apa saja yang diakibatkan oleh ulah Yahudi, kita jangan merasa aneh. Sudah menjadi tabiat khas Yahudi, membuat kerusakan di muka bumi. Paling usaha yang bisa dilakukan atas korban-korban dari pihak kaum Muslimin: mendoakan yang wafat agar mendapat mati syahid, mendokan yang terluka agar segera disembuhkan oleh Allah, mendoakan yang rumahnya hancur agar segera diganti oleh Allah dengan karunia yang lebih baik; menasehati mereka agar bersabar menghadapi anjing-anjing Yahudi; membantu mereka dengan bantuan-bantuan kemanusiaan yang kita mampu berikan.

Pertanyaannya, mengapa usaha-usaha Ummat Islam selama ini seolah buntu sama sekali ketika menghadapi segala invasi dan kebrutalan Yahudi terlaknat itu?

Ini pertanyaan menarik. Jumlah Ummat Islam sedunia, kalau dikurangi jumlah orang Syi’ah dan Ahmadiyyah, sekitar 1 miliar manusia. Jumlah Yahudi hanya sekitar 6 sampai 10 juta jiwa. Perbandingan sekitar 100 : 1. Ummat Islam 100, Yahudi hanya 1. Dengan perbandingan yang tidak manusiawi ini, nyatanya kaum Muslimin kalah terus melawan bangsa babi itu. Berarti disini ada masalah serius yang menghinggapi kaum Muslimin sedunia. Nah, masalah apakah itu?

Setidaknya ada 3 masalah utama kaum Muslimin dewasa ini. PERTAMA, mereka tidak menegakkan Dua Kalimat Syhadat secara benar dan konsisten. Ini problem asasinya. KEDUA, mereka berpecah-belah dalam ikatan nasionalisme, kesukuan, madzhab fiqih, fikrah diniyyah, manhaj dakwah, dll. Perpecahan ini merupakan konsekuensi dari masalah pertama. KETIGA, Ummat Islam tenggelam dalam kehidupan hedonisme yang memuja-muja dunia dan meremehkan Akhirat.

Ketiga masalah tersebut (dan berbagai masalah-masalah lain) bisa disolusi dengan satu langkah, yaitu: menegakkan Daulah Islamiyyah (Negara Islam). Jika ada Negara Islam yang konsisten melaksanakan amanah Dua Kalimat Syahadat dan serius mengupayakan Persatuan Ummat, niscaya masalah kebrutalan Yahudi bisa diatasi secara nyata. Hanya karena di dunia saat ini tidak ada Daulah Islamiyyah seperti itu, maka kita pun selalu menjadi mainan Yahudi. Jika ada Daulah Islamiyyah yang konsisten dengan Dua Kalimat Syahadat, ia bisa mengumumkan Jihad Fi Sabilillah melawan Yahudi. Kaum Muslimin tinggal berbaris di belakang daulah tersebut untuk menghadang Yahudi.

Tapi masalahnya, di kalangan Ummat Islam sendiri masih banyak yang ketakutan mendengar istilah Negara Islam. Jangankan mau mendukung, menyebut istilah ‘Negara Islam’ saja, mereka sudah gemetar. Termasuk yang gemetar itu adalah anak-anak muda –ikhwan dan akhwat- yang rajin berdemo menentang aksi-aksi kekerasan Israel. Kalau dikatakan kepada mereka, “Solusi untuk menghadapi Yahudi ini adalah dengan menegakkan Negara Islam. Apakah Anda setuju?” Nanti jawab mereka akan muter-muter seperti gasing. Ya akhirnya, mereka berdemo itu hanya sekedar untuk menggelar “ritual penyambutan” belaka, bukan untuk mencari solusi.

Inilah dilemanya Ummat Islam. Ummat kita ini tidak tahan ketika melihat kasus-kasus kekerasan. Tetapi kalau diajak menyelesaikan masalah itu secara tuntas, mereka juga enggan. Sebab di mata mereka, hidup ini harus diisi dengan hiburan-hiburan. Sedangkan kecaman, kutukan, demo, dan lain-lain itu pada dasarnya adalah “hiburan” dalam bentuk yang lain.

Meskipun begitu, kita jangan pesimis. Sesulit apapun kondisi, setiap Muslim harus optimis. Benar memang, semua problema ini berat, rumit, dan melelahkan; tetapi Allah Maha Besar, Keagungan dan Kemuliaan-Nya mengatasi semua problema itu.

Sekali lagi, tidak perlu kita mengecam atau mengutuk Israel. Mereka sudah dikutuk sejak jaman Nabi Musa As. Langkah yang bisa kita tempuh adalah melawan, mematahkan, memerangi, atau melemahkan kekuatan anjing-anjing Yahudi itu. Siapa yang sanggup melawan, lawanlah; siapa yang belum sanggup, bersabarlah. Siapa yang ingin maju duluan, silakan; siapa yang mau bertahan untuk membina kekuatan, silakan. Siapa yang bisa memerangi Yahudi dengan tangan, lakukan; siapa yang bisa memerangi Yahudi dengan uang, lakukan; siapa yang baru sanggup memerangi mereka dengan doa, juga lakukan. Hadapi Yahudi dengan AMAL NYATA, bukan RETORIKA. You know?

Al ‘izzatu lil Islam, wal halakah li –ashabil khinzir wal qiradah- al Yahud laknatullah ‘alaihim. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

AMW.

Jumat, 28 Mei 2010

Nasib Ilmuwan Indonesia, Terasing di Negeri Sendiri.

Hanya ingin curhat sebagai seorang mahasiswa yang sedang menunaikan tugas belajar negeri asing. Saya seringkali mendapat "cibiran" dari saudara sendiri sebangsa setanah air di dalam negeri. Entah kenapa, tetapi saya merasa ada saja yang memandang sinis bahwa saya seolah-olah sudah tidak peduli lagi dengan negara asal, Indonesia. Beberapa waktu yang lalu ada seseorang yang mengatakan bahwa saya hanya mencari keuntungan dan berorientasi hanya kepada uang. Kalau pun uang bukan lah sesuatu yang layak disebut ukuran, tapi memang kenyataannya sangat berbanding terbalik dengan kemampuan yang kita punya. Oke... mungkin uang atau materi hanya sesuatu yang klise untuk dibahas. Betapa tingginya idealisme mereka yang "mencibir" saya tidak peduli dengan nasib bangsa sendiri hingga berpaling ke lain hati. Hanya satu hal yang saya lihat, mereka bisa berkata begitu tentu karena tidak ada dalam posisi yang sama seperti yang saya rasakan. Siapa pun orangnya, akan sangat mudah mengkritik, dengan kritikan yang terkesan menjatuhkan karena mereka tidak ada dalam sudut pandang yang sama dengan orang yang mereka kritik. Contoh sederhananya adalah seperti penonton/pengamat sepak bola. Begitu asiknya mereka mengomentari kiper bodoh, wasit goblok, striker tidak becus ketika tim jagoan mereka kebobolan goal. Sementara jika mereka sendiri bermain di lapangan belum tentu lah mereka bisa melakukan se-idelal yang mereka bicarakan!

Sekedar sharing saja supaya wawasan kita terbuka (sedikit). Tahukah kamu berapa gaji seorang profesor yang sudah berdinas sekitar 40 tahun, dihitung sejak pertama kali mengajar di perguruan tinggi? Mereja ternyata hanya menerima gaji (pokok) kurang lebih Rp 2,7 juta per bulan, atau lebih sedikit tergantung kepada ukuran keluarga yang masih berada di bawah tanggungannya. Sekiranya sang profesor masih punya tanggungan anak yang kuliah satu atau dua orang, kamu bisa membayangkan betapa sulit baginya untuk mengatur budget rumah tangga. Atau, bahkan tanpa berutang, dapur bisa berhenti berasap, karena pendapatan setiap bulan benar-benar berada dalam sistem ''menghina''.

Bandingkan dengan seorang anggota DPRD di daerah yang punya PAD (Penghasilan Asli Daerah) tinggi, yang menerima gaji sekitar Rp 40 juta per bulan. Tidak peduli apakah anggota ini punya ijazah asli atau palsu yang belum ketahuan, pendapatannya sama. Sehingga pantas lah sangat banyak orang berlomba-lomba ingin jadi wakil rakyat, bahkan ada juga yang sampai menghabiskan uang ratusan hingga milyaran rupiah demi mewujudkan obsesi mereka.

Untuk menandingi perdapatan per bulan anggota DPRD yang (katanya) terhormat ini, seorang profesor harus bekerja sekitar 15 bulan, baru imbang. Inilah panorama kesenjangan yang amat buruk yang berlaku sampai sekarang di Indonesia. Jangankan dengan wakil rakyat dengan PAD tinggi, di daerah minus sekalipun, dengan pendapatan sekitar Rp 5 juta per bulan, seorang profesor botak tidak bisa menandingi.

Memang, ada sejumlah kecil profesor atau doktor yang punya penghasilan tambahan yang cukup tinggi sebagai konsultan, dosen di luar negeri, merangkap jadi anggota DPR, komisaris atau penasihat bank, ikut proyek, atau mengajar di beberapa tempat, dan lain-lain. Tetapi, standar gaji mereka, ya seperti tersebut di atas itu.

Dengan kenyataan seperti itu, mana mungkin seorang profesor punya karier akademik yang menjulang tinggi. Dana untuk beli buku sudah tersedot untuk kepentingan survival, sekadar bertahan hidup untuk kebutuhan sehari-hari sekeluarga.

Tulisan ini tidak ingin memberi kesan bahwa seorang profesor itu perlu diberi perhatian khusus. Sama sekali tidak. Tetapi makhluk yang satu ini, apalagi mereka yang mendapatkan Ph.D di luar negeri, adalah pekerja keras dengan membanting otak selama bertahun-tahun. Tugasnya kemudian adalah untuk turut "mencerdaskan kehidupan bangsa" pada tingkat perguruan tinggi.

Pemegang Ph.D setelah pulang ke Tanah Air tentu harus berpikir keras lebih dulu bagaimana agar rumah tangga bisa bertahan. Bagaimana pun itu adalah hal yang sangat wajar, karena merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan lebih prioritas. Urusan beli buku referensi terpaksa menjadi agenda nomor sekian. Padahal tanpa buku dan jurnal, seorang pemegang PhD pasti akan kehabisan stok, tidak bisa meng-update (menyegarkan) ilmunya. Akibatnya, buku-buku terbitan puluhan tahun yang lalu dikunyah lagi untuk bahan perkuliahan.

Dengan kenyataan seperti ini, mana mungkin orang dapat berharap kualitas perguruan tinggi kita akan terbang tinggi dibandingkan dengan mitranya di negara tetangga saja. Kualitas pendidikan kita sudah terlalu jauh di bawah standar, termasuk perguruan tinggi yang biasa disebut sebagai pusat keunggulan.

Dengan rendahnya mutu lulusan kita, akan sangat kecil kemungkinan bangsa ini akan mampu bersaing pada tingkat regional untuk mengisi lapangan kerja yang terbuka lebar sebenarnya. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris yang sangat lemah bagi lulusan kita menambah lagi daftar buruk kita untuk mampu bersaing di dunia kerja untuk perusahaan-perusahaan asing di kawasan Asia Tenggara, misalnya.

Sebagai perbandingan, di Malaysia gaji seorang profesor penuh (full professor) hampir dua kali lipat gaji anggota parlemen federal. Di Indonesia gaji seorang anggota DPR pusat sekitar 19 kali lipat gaji seorang profesor penuh per bulan. Maka, orang tidak boleh kaget lagi jika dunia akademik dan keilmuan kita semakin suram dan buram dari waktu ke waktu, sementara dunia politik kita semakin berkibar tetapi kumuh, ditambah lagi masih saja sebagian politisi DPR kita merangkap jadi calo proyek.

Masalah materi atau finansial hanya sebagian kecil dari fenomena betapa banyaknya hal "lucu" yang terjadi di negeri kita ini.

Sepulang studi umumnya para ilmuwan itu sering frustrasi karena pekerjaan mereka tidak ditopang peralatan dan orientasi ke depan. Kalau tidak percaya, silahkan berkunjung ke beberapa lembaga penelitian di Indonesia, fasilitas kerja kurang dan tidak ada dana penelitian, kasihan mereka.

Padahal tahun lalu saja anggaran China untuk mengembangkan bidang iptek mencapai 2 persen dari anggaran nasional mereka, sedangkan Indonesia hanya 0,5 persen. Jangan tanya Jepang dan Korea, mereka di atas 2 persen.

Pengiriman calon ilmuwan dan ilmuwan yang sudah jadi ke luar negeri sangat strategis dalam upaya mendongkrak daya saing bangsa sehingga kelak menjadi motor penggerak dan inovator di berbagai bidang. Namun, ilmu yang diperoleh anak bangsa di luar negeri itu tidak ada artinya jika mereka tidak diberi kesempatan berperan dalam masyarakat. Sehingga akhirnya segelintir ilmuwan ada yang kecewa dengan iklim penelitian di dalam negeri sehingga mereka lebih tertarik untuk tinggal dan bekerja di luar negeri. Tetapi, itu hanya sebagian kecil. Pada sisi lain, hal itu juga memungkinkan bagi anak bangsa terbaik untuk mengharumkan nama negeri kita di luar negeri. Toh, diam-diam mereka tetap menjalin komunikasi dengan sesama ilmuwan di dalam negeri dan memungkinkan transformasi teknologi kok.

Jadi bagaimana sekarang? Tidak malu? Pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi untuk Indonesia, sebab peradaban bangsa ini baru sampai sebatas itu. Akan tenggelamkah kita? Semoga tidak! Anak bangsa yang masih punya hati nurani harus bangkit menolong perahu republik ini agar tidak semakin dipermalukan dunia. Semoga saya, Anda, kita semua putra putri bangsa yang saat ini sedang mengemban tugas mulia belajar di negeri orang, menjadi bagian dari pendobrak perubahan di negeri kita tercinta.

Gambaran Pekerjaan di Jepang yang Sebenarnya!

Entah sudah berapa kali saya ditanya teman tentang info bagaimana caranya agar bisa bekerja di Jepang. Yah minimalnya bisa magang gitu lah... Kebanyakan dari mereka yang bertanya seperti itu biasanya niatnya tidak murni untuk bekerja dan cari uang. Hah! saya tahu itu cuma alasan belaka, yang sebenarnya mereka itu ingin merasakan bagaimana tinggal di Jepang. Nonton matsuri, keliling Harajuku, beli manga, beli alat elektronik di Shibuya, dan acara-acara lain yang intinya sebenarnya adalah: JALAN-JALAN alias HURA-HURA!

Mereka tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya kondisi di Jepang yang sungguh seperti medan pertempuran. Tentu maksu
d saya bukan seperti perang, tapi suasananya yang begitu ketat dengan persaingan yang sangat ketat juga. Sehingga menyebabkan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa "bertahan". Mirip teori evolusi yang diceritakan Charles Darwin, yang paling kuat lah yang akan bertahan!

Saya juga tidak bisa menyalahkan teman-teman saya tersebut. Lagipula, siapa anak muda Indonesia sekarang yang tidak kebelet pengin ke Jepang sekarang? Hayooo... saya yakin jumlahnya bany
ak sekali kan? Bisa tergambar dari ramainya pengunjung event-event acara Jepang setiap diadakan di berbagai kota di Indonesia, yang kebanyakan anak muda. Hanya saja kebanyakan informasi yang mereka terima adalah segala sesuatu yang enak-enaknya saja tentang Jepang. Negara industri yang begitu pesat teknologinya. Taman kota yang tertata bersih. Sarana transportasi yang teratur dan terjadwal dengan tepat waktu, dll. Itu semua memang kelebihan Jepang yang nyatanya lebih banyak dikenal oleh kita ketimbang sisi negatifnya.

Nah... sebagai gambaran saja, tidak ada salahnya juga kan kalau kita ungkapkan sisi negatif dari Jepang. Khusus kali ini adalah tentang dunia kerja di Jepang. Karena memang sudah terlalu banyak yang bertanya kepada saya tentang hal tersebut. Jadi ya anggap saja sekalian menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara berantai.

Setiap tahun terdapat jutaan mahasiswa yang bersorak gembira ketika mereka dinyatakan lulus dari universitas. Mereka senang karena jerih payah orang tua tidak sia-sia setelah mereka di wisuda mengenakan toga. Sayang sekali... mereka tidak sadar kalau mereka baru saja keluar dari "kandang anak kucing" dan masuk ke hutan belantara yang dipenuhi oleh singa, ular berbisa, mawar beracun, dan banyak lagi yang aneh-aneh.

Menurut survey di Tokyo, orang-orang yang baru lulus kuliah cenderung mengalami tingkat stress yang lebih tinggi jika dibandingkan ketika mereka sedang menghadapi ujian terakhir di kampus.


Kenapa mereka lebih stress? Karena mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan!

Makin hari makin banyak darah segar yang bersaing ketat untuk mendapatkan pekerjaan. Dan ketika saing
an semakin banyak, banyak pula yang rela di gaji rendah, kerja semakin larut, dan tingkat kesehatan yang semakin menurun.

Bangsa yang Suka Menghina Diri Sendiri

Bangsa Indonesia gemar mencemooh bangsa sendiri. Apabila ada insan atau lembaga Indonesia melakukan kesalahan, segera mereka dihujani cemooh bodoh,tidak becus, tidak profesional, buta manajemen, tidak berjiwa entrepreneur, terbelakang, primitif dan aneka ragam caci maki lain. 

Pendek kata, kita gemar mencemooh bangsa kita sendiri sebagai bangsa serba-tidak bisa di samping pemalas dan korup. Sambil mencemooh kita juga gemar membandingkan diri dengan bangsa lain, terutama bangsa negara-negara maju yang selalu dianggap pintar, rajin, tekun, terampil, profesional, unggul manajemen, berjiwa entrepreneur, progresif, modern, visioner, dan aneka ragam pujian setinggi langit ketujuh. Mungkin kita tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa gedung kebanggaan Kota Sydney, Sydney Opera House (SOH), dibangun dengan biaya berlipat ganda melebihi anggaran yang semula dirancang pemda setempat. Eksterior SOH memang memesona dan layak dinobatkan sebagai landmark Kota Sydney,namun interiornya tidak layak dipuji, apalagi dipesonai. 

Di samping terkesan asal jadi, akustik hall utama SOH merupakan salah satu yang terburuk di dunia karena secara akustik tidak layak untuk pergelaran opera, padahal namanya Sydney Opera House! Di samping itu letak lokasi parkir mobilnya tidak manusiawi karena terlalu jauh dari gedung SOH itu sendiri.Belum terhitung berapa korban jiwa berjatuhan pada saat membangun konstruksi atap SOH nan spektakuler tapi sangat berbahaya bagi keamanan bahkan nyawa para pekerja bangunan. Pendek kata,apabila bangunan spektakuler bermasalah itu dibangun di Jakarta, maka pasti pembangunnya, termasuk arsitekturnya, habis dicaci maki sebagai tidak becus, tidak profesional, berbahaya, bahkan korup akibat anggaran terbukti membengkak seperti gajah obesitas sedang menderita sembelit dan beri-beri! 

Anggaran biaya pesawat terbang Concorde,penembus ambang kecepatan suara itu juga tidak kalah menggelembung ketimbang SOH, bahkan belasan kali lipat lebih besar ketimbang anggaran yang semula ditetapkan. Hasil pemasaran penerbangan Concorde juga tidak seperti yang diharapkan, bahkan akhirnya bangkrut. Terbukti kini pesawat supersonik tersebut sudah menjadi sejarah belaka. Andaikata yang merancang dan memproduksi pesawat terbang gagal itu adalah IPTN,apalagi di bawah pimpinan Prof Dr BJ Habibie yang di Eropa dipuja puji sebagai tokoh industri aeronautika itu,pasti habis dicaci maki sebagai tidak becus,tidak profesional, bahkan korup akibat anggaran yang terbukti membengkak seperti perut gajah bunting tua sambil tidak bisa kentut . 

NASA belum lama berselang ini meluncurkan balon raksasa (121 meter!) dengan muatan peralatan teleskop yang khusus dirancang untuk meneropong alam semesta di ketinggian tidak tercapai jangkauan indera lihat manusia di kawasan gurun outback Australia tengah. Ketika baru saja mulai meninggalkan permukaan bumi, mendadak gondola yang bergantung di balon raksasa itu lepas, sehingga teleskop yang juga berukuran raksasa dan luar biasa mahal itu jatuh kembali ke bumi menimpa pagar kawasan parkir mobil di Alice Springs Balloon Launching Centre, di dekat Kota Alice Springs di kawasan gurun Australia tengah. 

Teleskop yang hancur lebur itu bukan kelas sembarangan dan sama sekali tidak murah biaya pembuatannya karena merupakan nuclear compton telescope (NCT), sebuah teleskop berteknologi nuklir karya astronom Steven Boggs dan rekan-rekannya di University of California, Berkeley, California, untuk penelitian sumber-sumber astrofisikal di angkasa semesta. 

Andaikata yang merancang balon raksasa penggendong teleskop raksasa luar biasa mahal itu adalah para ilmuwan LIPI dan peluncuran yang gagal dilakukan para guru besar ITB didukung para mahasiswa ITS di gurun pasir Gunung Bromo, pastilah mereka habis dicaci maki sebagai terbelakang, primitif, tidak profesional, tidak becus manajemen dan masih ditambah korupsi suku cadang konstruksi balon maupun teleskop, sehingga kandas mengangkasa itu. Itu juga akan menjadi bukti bahwa kita memang gemar mencemooh karsa dan karya bangsa kita sendiri!

NOTES: artikel ini dicontek dari blognya Aziyati Dzata Ishma yang baru bikin blog lagi. Sekalian aja silahkan di add biar temannya banyak.  Hehehe...