Kamis, 17 Desember 2009

Sepuluh Tahun Sudah Aku Ada Dalam Dakwah Ini

Liqo. Pertama kali dalam hidup saya mengikutinya pada tahun 2000. Ketika itu saya masih kelas 3 SMP. Berawal dari sebuah pengajian agama yang suka diadakan keluarga saya. Kami biasa belajar agama sekeluarga dengan mengundang seorang ustadz ke rumah. Pengajian, yang selanjutnya saya kenal dengan istilah liqo tersebut biasa kami adakan seminggu sekali setiap hari Ahad. Ustadz yang kami undang tidak lain adalah tetangga kami dekat rumah, suaminya teman pengajian ummi saya. Materi yang diajarkan sang ustadz pun menurut saya sangat umum. Intinya mengajarkan hal-hal yang sangat mendasar dalam Islam, tetapi justru sangat penting peranannya karena bisa dibilang seperti awal pondasi dalam suatu bangunan. Seperti misalnya bagaimana kita mengenal Tuhan, Rasul, makna dan esensi dalam kalimat syahadat, tauhid, shalat, zakat, shaum, dll. Tidak ada sesuatu yang saya anggap "spesial" (pada awalnya) dan hampir sama seperti pengajian-pengajian umum yang suka diadakan di masjid-masjid.

Hingga suatu saat, ustadz meminta kepada saya dan kedua orangtua saya agar mengikuti jenjang yang lebih dikhususkan lagi. Alasan ustadz saat itu, karena beliau menganggap seharusnya saya mendapatkan materi yang lebih mendalam. Karena saya bisa dibilang lebih cepat dalam menangkap apa yang dipelajari. Akhirnya, saya pun menambah jam ngaji saya dengan seorang ustadz yang lain, walaupun saya juga suka tetap ikut kalau ada jadwal pengajian di rumah.

Setelah beberapa kali mengikuti pengajian yang kata ustadz lebih disesuaikan proporsi materinya tersebut, saya merasa memang ada sesuatu yang berbeda dengan apa yang diajarkan di pengajian di rumah dengan di ustadz yang lain tersebut. Bahkan saya sempat merasa kaget ketika suatu saat ustadz mengatakan agar selalu merahasiakan segala apa yang diberikan selama pertemuan. Saya kaget bukan karena harus merahasiakannya. Tapi yang membuat saya kaget adalah, mengapa materi yang menurut saya, sebenarnya tidak rahasia-rahasia amat kok harus dirahasiakan. Bahkan ketika itu kelompok pengajian saya harus memasukkan semua sandal yang kami pakai ke dalam rumah sang ustadz, dan tidak membiarkannya tercecer di depan pintu rumah. Ketika saya tanya alasannya, waktu itu ustadz hanya menjawab, "supaya tidak mencolok kalau di rumah saya sedang banyak orang lagi ngaji."

Saya adalah tipikal orang yang cukup kritis. Jika ada sesuatu hal yang saya rasa tidak dapat saya terima, maka biasanya saya selalu meminta penjelasan tentang hal tersebut. Termasuk tentang keharusan menjaga rahasia kegiatan pengajian yang kami lakukan pada saat itu. Tapi karena ustadz saya dapat menjelaskan dengan baik, dan alasannya dapat saya terima, maka saya pun bersikap taat kepada beliau dan menjaga amanah itu dengan baik.

Begitulah liqo pada awal kemunculannya di permukaan yang saya kenal dan rasakan. Namun setelah kurang lebih satu tahun kemudian, tepatnya tahun 2001, kesan rahasia itu pun makin luntur. Ustadz menjelaskan pada saya bahwa sekarang sudah bukan era-nya lagi kita "sembunyi-sembunyi", sudah saatnya lebih banyak lagi orang yang kita ajak dalam dakwah ini. Itu pula alasan yang membuat saya berani untuk memposting tulisan ini.

Mungkin bagi sebagian orang ada yang bertanya-tanya mengapa dulu liqo diadakan secara sembunyi-sembunyi. Para kader dakwah yang baru terlibat dalam liqo setelah era keterbukaan itu pun mungkin hanya bisa mendengar alasan itu dari para murabbi / murabbiah mereka masing-masing, tanpa pernah merasakan suasana yang dulu dirasakan para pendahulu mereka. Pada mulanya, liqo dilakukan dengan sedikit tersembunyi atau tidak terlalu terbuka. Sekali lagi, maklum, sebab utamanya adalah Orde Baru dan kekuasaan yang tak menghendaki kekuatan lain tumbuh dan menguatkan diri. Tetapi, kian lama kegiatan-kegiatan liqo semakin terbuka, karena memang, tidak satu pun rahasia atau semacam agenda konspirasi yang dibahas dalam pertemuan-pertemuan semacam ini. Liqo membahas masalah-masalah pendidikan karakter dan pribadi, mengajak orang dalam kebaikan, dan berbagi pengalaman dalam konteks keberagamaan.

Sejak dicanangkannya keterbukaan bagi gerakan dakwah ini. Menurut pengamatan saya, gerakan ini semakin tumbuh dengan signifikan. Gerakan ini lah yang selanjutnya lebih dikenal dengan "Tarbiyah". Akhirnya, kampus, diakui atau tidak, menjadi semacam inkubator bagi proses gerakan Tarbiyah. Masa kuliah telah menjadi masa inkubasi bagi para aktivis dakwah Tarbiyah. Masjid-masjid kampus mulai makmur dengan kehadiran mereka, jilbaber-jilbaber pun kian tahun kian banyak ditemui di dalam kampus. Dan, yang paling signifikan adalah, tak hanya ilmu-ilmu eksakta dan humaniora yang mereka pelajari dari kampus-kampus tempat mereka kuliah, tapi juga ilmu-ilmu agama lewat daurah dan dakwah gerakan Tarbiyah.

Tak ayal, bahkan saya sendiri pun pernah dicap sebagai penganut "aliran menyimpang" hanya karena terlihat "berbeda" dengan kebanyakan masyarakat sekitar rumah. Pertentangan itu semakin nyata saya terima ketika saya menjadi ketua perkumpulan remaja masjid dekat rumah. Saya menggerakkan sekelompok pemuda di lingkungan rumah dalam kegiatan dakwah Tarbiyah ini. Mereka anak-anak muda yang berbasis di mushala dan masjid-masjid ini menciptakan ruang maya di tengah masyarakat. Mereka bisa menciptakan sebuah ruang kultural yang bisa dilihat, tapi sulit untuk dilacak dan dibuktikan eksistensinya. Masyarakat sempat dibuat bingung dengan anak-anak muda yang terus lahir, tumbuh, dan hidup di tengah-tengah mereka sendiri, tetapi berbeda ekspresinya dengan masyarakat kebanyakan.

Mereka terus bergerak, membangun pertumbuhan-pertumbuhan lewat liqo-liqo atau halaqoh yang setiap pekan rutin mengadakan pertemuan. Liqo dalam bahasa asalnya, Arab, berarti pertemuan, dan halaqoh adalah kelompok dari pertemuan itu. Tetapi, dalam komunitas Tarbiyah, kata tersebut digunakan untuk terminologi pertemuan dalam rangka pembinaan, baik tentang pemahaman Islam, moral dan akhlak, dakwah dan sosial maupun tentang pendidikan politik dan juga pemikiran.

Salah satu yang layak dicatat sebagai faktor penentu perkembangan dakwah gerakan Tarbiyah ini adalah semangat mereka untuk berbagi kebaikan, seluas mungkin, sebanyak mungkin. Para aktivis Tarbiyah tak menunggu sampai memiliki bertumpuk-tumpuk ilmu, beratus-ratus hafalan hadits atau berjuz-juz hafalan qur’an untuk berdakwah. Satu hadits yang mereka dapatkan dalam pertemuan mingguan, atau satu ayat yang mereka bahas dalam liqo akan segera mereka sebarkan dengan semangat berbagi kebaikan, berbagi ilmu, dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Mereka mencoba benar-benar mengaplikasikan sebuah hadits dan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, Balighu anni walau ayah. Sampaikan dariku walau hanya satu ayat.

Sekarang, sekitar sepuluh tahun sudah saya berkecimpung dalam dakwah ini. Cukup banyak transformasi atau perubahan yang saya rasakan selama perjalanan ini. Ada yang positif, tapi tidak sedikit juga yang negatif. Saya ingin menggaris bawahi, bahwa kalaupun ada yang negatif, saya percaya itu bukan dikarenakan dakwah ini yang salah, tapi lebih dikarenakan sikap dan pemahaman para kader pendakwahnya itu sendiri yang lemah. Saya tidak ingin mengevaluasi siapa pun secara lebih khusus, karena saya sendiri pun masih butuh banyak sekali evaluasi. Hanya saja perlu menjadi catatan bersama bagi kita yang sama-sama ingin dalam satu barisan berdakwah di jalan ini, sudah saatnya kita mengambil banyak pelajaran dari para pendahulu kita. Sebab boleh jadi hal buruk yang kita alami di masa sekarang masih belum ada apa-apanya dengan yang dialami pendahulu kita.

Teringat perkataan seorang umahat, ibu angkat saya, pernah berkata, "Dulu kami berjuang dan berkontribusi di tengah kesempatan yang sempit, sementara sekarang seharusnya para kader dapat bergerak lebih leluasa lagi. Oleh karena itu jangan pernah lalai dalam setiap kesempatan. Teruslah bergerak sampai hanya ada satu hal yang benar-benar dapat membuat kita berhenti bergerak dalam dakwah, itulah kematian."

Wallahu'alam...

HAPPY NEW YEAR!!! Tahun baru, semangat baru, prestasi baru! Selamat berjuang menjadi pribadi yg lebih berkualitas.

Minggu, 13 Desember 2009

Mengubah Cemburu Menjadi Energi Positif

Cemburu, dalam bahasa Arab dikenal sebagai ghoirah dan dalam bahasa Inggris disebut jealousy. Menurut saya, kalaupun seseorang merasakan perasaan tersebut merupakan suatu gejala yang fitrah, wajar, dan alamiah dari seseorang sebagai rasa cinta, sayang, saling memiliki, melindungi (proteksi) dan peduli satu sama lain.

Membicarakan hal yang satu itu, membuat saya teringat kisah-kisah asmara dan romantisme kehidupan keluarga Rasulullah bersama istri-istrinya dahulu. Dikisahkan, istri Rasulullah, Aisyah Radiallahuan pun pernah merasa cemburu kepada suaminya. Dalam sebuah riwayat pernah diceritakan. Pada suatu malam Aisyah pernah ditinggal Rasulullah. Aisyah menyangka bahwa Rasul sedang pergi ke rumah istri beliau yang lain. Kemudian oleh Aisyah diselidiki. Setelah diselidiki, ternyata Rasulullah sedang ruku atau sujud sambil berdoa: "Maha suci Engkau dan Maha Terpuji Engkau, tiada sesembahan yang benar melainkan Engkau. Maka Aisyah pun berkata: "Sungguh-sungguh Anda (Rasul) dalam keadaan satu keadaan (ibadah), sedang saya dalam keadaan lain (digoda oleh rasa cemburu)." Riwayat hadits ini shahih lho, diriwayatkan oleh Muslim: I/351-352; Abdul Baqi, An-Nasi'i VII/72, ath-Thayalisi 1405 dan lainnya.

Ah... tapi tunggu dulu, bukankah itu adalah kisah kecemburuan seorang Aisyah kepada Rasulullah? Seorang lelaki mulia yang memang telah sah menjadi suaminya. Memang, ketika perasaan cemburu itu datang, ia tidak pernah memandang apakah itu terjadi di antara sepasang suami-istri atau bukan. Rasa cemburu bisa datang dan dialami siapapun. Bahkan saya pun pernah merasa cemburu dan merasa dicemburui. Namun terkadang saya juga suka merenung. Sering terlintas dalam benak saya beberapa hal terkait perasaan yang satu itu. Seperti misalnya, apakah memang layak seseorang merasa cemburu kepada orang lain, sementara belum ada ikatan pernikahan satu sama lain. Berkaca pada kisah Aisyah dan Rasulullah di atas, saya menganggap wajar jika Aisyah merasa cemburu terhadap Rasulullah, sebab bukankah beliau memang suaminya. Ketika seorang pria dan wanita saling berikrar setia dalam suatu ikatan pernikahan, dimana Allah telah menjadi saksinya, maka secara otomatis kedua belah pihak (suami dan istri) seakan telah secara resmi melakukan transformasi hak atau kewenangannya satu sama lain. Maksudnya, sang wanita telah memiliki hak atas sang pria karena telah menjadi istrinya. Begitu juga sebaliknya, sang pria memiliki hak atas sang wanita, karena telah menjadi suaminya. Sehingga keduanya layak untuk cemburu ketika ada suatu hal atau kewenangan yang merasa telah terlanggar atas salah satu atau keduanya.

Pikiran semacam itu terkadang muncul karena bagi saya, pada kenyataannya, cemburu tidak jarang telah mendapatkan stigma dan konotasi yang selalu negatif sebagai bentuk ekspresi dan refleksi yang tidak pada tempatnya, saling curiga, dan sebagainya. Terlebih jika itu terjadi pada orang yang memang belum memiliki hak atas orang yang ia cemburui.

Saya dapat mengerti, bahwa perasaan itu datang dikarenakan kondisi kejiwaan dan pikiran yang dipicu oleh beberapa faktor. Tapi dari sekian banyak faktor, biasanya faktor cinta dan rasa ketertarikan lah yang paling utama menjadi pemicu. Lalu kalau sudah terjadi seperti itu, lantas apakah dilarang dalam agama? Menurut saya tidak menjadi salah jika kecemburuan itu ditempatkan sesuai pada tempatnya. Tidak secara berlebihan atau bahkan malah akan merugikan pihak-pihak tertentu yang sebetulnya tidak terkait atau berkepentingan. Dalam sebuah buku yang pernah saya baca (saya lupa judulnya), ditulis oleh Imam Ibnul Qayyim, beliau menganjurkan kepada para muslimah untuk meniru karakteristik bidadari surga yang berhati suci. Sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya: “dan untuk mereka di dalamnya terdapat istri-istri yang suci.” (QS. Al Baqarah: 25). Yaitu dengan membangun kejiwaan yang bersih dari perasaan cemburu yang tidak pada tempatnya. Terlebih jika cemburu itu ditujukan pada seseorang yang belumlah menjadi halal baginya.

Namun, sebenarnya tidak semua cemburu itu membawa kesengsaraan dan tidak terpuji. Sebab rasa cemburu merupakan suatu potensi kejiwaan yang bila dipakai dan dikelola pada tempatnya secara wajar justru akan menjadi kontrol positif dan bukan menjadi sikap negatif yang tidak produktif. Wanita yang paling mulia dan yang paling luhur cita-citanya adalah mereka yang paling pencemburu pada tempatnya. Maka sifat seorang beriman yang cemburu (ghoyyur) pada tempatnya adalah sesuai dengan sifat yang dimiliki oleh Rabb-nya. Siapa yang mempunyai sifat menyerupai sifat-sifat Allah, maka sifat tersebut akan membawanya ke dalam perlindungan Allah dan mendekatkan diri seorang hamba kepada rahmat-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat cemburu dan orang-orang beriman juga memilikinya. Adapun rasa cemburu Allah ialah ketika melihat seorang hamba yang mengaku dirinya beriman kepada-Nya melakukan sesuatu yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Nasa’i).

Nah... jadi untuk mengubah rasa cemburu itu menjadi kumpulan energi positif, mengapa tidak kita ubah saja perspektif kecemburuan itu menjadi lebih luas, tidak terbatas hanya pada cemburu yang berlatarbelakang perasaan cinta lawan jenis semata. Sebab jika cara pandangnya sempit, hanya berkutat karena masalah cinta saja, biasanya itu cenderung akan membawa pada kemudharatan daripada manfaat. Tidak sedikit mereka yang merasakan cemburu kepada orang yang ia cintai, pada akhirnya malah membawanya kepada perasaan benci, iri, dan dengki pada pihak ketiga yang mungkin saja sebenarnya dia tidak tahu apa-apa duduk permasalahan yang sebenarnya. Misalnya, ada seorang pria cemburu kepada wanita yang ia cintai, sementara mereka berdua bukanlah pasangan suami-istri. Sang pria cemburu karena ia memiliki perasaan bahwa wanita pujaannya itu merasa lebih tertarik pada pria lain dibanding dirinya. Akhirnya sang pria yang cemburu itu pun malah menjadi benci, iri, dan dengki pada pria yang "dikagumi" oleh wanita yang ia cintai tadi. Sementara pria yang dikagumi oleh wanita tadi, sebenarnya tidak memiliki kepentingan apa pun dalam hubungan mereka berdua, bahkan tidak pernah tahu tentang perasaan "kagum" dari sang wanita tadi.

Yang jelas, ketika ada seseorang yang merasa kagum atas orang lain, tentulah itu dikarenakan orang tersebut memiliki nilai lebih. Entah apa pun itu, yang pasti ia memiliki banyak hal yang postif dan mungkin jarang atau tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka mengapa perasaan cemburu itu tidak kita arahkan saja agar menjadi penyemangat kita supaya lebih baik dari orang yang memiliki nilai lebih tersebut. Secara hubungan antar sesama manusia, tidak ada yang lebih berperan terhadap kualitas diri seseorang melainkan diri orang itu sendiri. Lingkungan, keluarga, teman-teman, atau orang-orang terdekat dalam hidup mungkin bisa menjadi pendorong, tetapi pada akhirnya tetap kita sendiri yang harus berbuat dan mengambil keputusan, bukan?

Ikhlas lah ketika kita tahu ada orang yang lebih bernilai dari kita. Lalu jangan menjadi pencemburu kalau hanya berhenti sampai jadi pencemburu semata. Akan tetapi segera sambut rasa cemburu tadi dengan usaha keras yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas diri kita. Membuat kita jadi lebih bernilai dari orang lain. Bersikaplah cemburu kepada sifat-sifat positif dari orang lain, bukan pada pribadi orangnya. Sebab, kalaupun rasa cemburu itu bermula dan akhirnya bermuara kepada sebuah perasaan yang bernama cinta, pada hakikatnya seseorang tentu ingin mendapat yang terbaik bagi dirinya. Namun keinginan itu tentunya juga harus diimbangi dengan upaya yang dapat menjadikan dirinya seberkualitas seperti orang yang ingin dia dapatkan itu. Sangatlah tidak adil ketika seseorang menginginkan yang terbaik bagi dirinya, sementara ia sendiri tidak pernah berusaha membuat dirinya menjadi yang terbaik.

fesbuk saya ternyata gak bisa di-delete total euy. walaupun udah di-deactivate, ternyata masih bisa log in kembali. (-.-)"

Sabtu, 12 Desember 2009

Kamisama no Okurimono (Hidayah dari Tuhan)

Di masa-masa awal memasuki dunia kampus, hampir bisa dibilang tidak berhubungan sama sekali dengan sesuatu yang orang sebut sebagai "agama". Dan saat-saat pertama masuk kuliah pun saya masih selalu berpikir bahwa memang tidak ada urgensi (kepentingan) untuk mempunyai agama.

Pikiran itu berubah ketika saya masuk kuliah. Yakni ketika saya bergabung dengan klub pecinta alam. Saya berpikir, mungkin akan asyik bergabung dengan klub pecinta alam di universitas saya tersebut. Dalam klub ini banyak sekali mahasiswa luar negeri (antara lain dari Indonesia dan Thailand). Dan kebanyakan dari mahasiswa tersebut adalah pemeluk Islam (muslim). Akan tetapi hal itu tak mengubah penafsiran awal, bahwa memang tidak ada "kepentingan yang mendesak" untuk memeluk suatu agama bagi saya.

Dari anggota klub pecinta alam yang lain, saya banyak mengetahui tentang Islam dan kehidupan para muslim di sekitar saya. Saat itu saya tidak melihat agama Islam sebagai sebuah pilihan, akan tetapi saya berpikir bahwa semua agama itu sama. Begitulah, seperti sebelumnya saya tidak tertarik sama sekali menjadi anggota dari orang yang memeluk suatu agama. Banyak hal yang terdengar, dan saya hanya merespon ringan: "Oh begitu ya?" Tidak ada yang berbekas banyak di hati saya. Ibarat berjalan di atas pasir kering, telapak kaki tertinggal hanya beberapa saat saja. Ia akan hilang tertimbun bersama pasir lain.

Sampai suatu hari saya mengikuti sebuah diskusi "Tentang Keberadaan Tuhan". Hal yang amat membekas di dalam hati, dan entah kenapa saya menyetujui bahwa "Tuhan itu Esa". Dan tanpa saya sadari, kehidupan biasa saya pun menghadapi perubahan. Pada musim semi di tingkat dua, saya berkesempatan mengunjungi Indonesia selama satu bulan, menghabiskan libur musim panas. Saya menghabiskan masa liburan dengan berkunjung ke rumah tiga muslim teman kuliah saya. Di sinilah benih-benih hidayah Allah mulai terasa tumbuh di hati.

Kesan saya tentang Islam yang hanya sebatas harus shalat lima waktu dan susah mencari makanan halal itu, menjadi berubah. Di Indonesia, saya sangat terkejut karena tidak ada kesulitan untuk mencari makanan halal. Orang Indonesia bisa berbelanja di supermarket aneka barang yang halal dan dengan bebas. Sama sekali tidak susah.

Kesan saya terhadap masjid pun berubah. Semula bagi saya, masjid adalah tempat ibadah suci, tempat saya yang tak tersentuh, dan tentu, bukan bagian dari kehidupan saya. Tetapi begitu saya ikut teman ke masjid, saya merasa suasana yang berbeda dengan image awal tadi. Ternyata, saya melihat masjid menjadi tempat yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, termasuk diri saya. Suasana yang sebelumnya begitu jauh dari saya, terasa begitu dekat. Masya Allah... saya merasa bahwa Islam itu begitu dekat.

Seiring banyaknya pengalaman yang mendekatkan saya dengan agama Islam, ketika berada di Indonesia saat itu, membuat keinginan saya masuk Islam menjadi kuat. Maka saat itulah saya memutuskan untuk masuk Islam, dari hati terdalam. Mulanya ketika saya masuk Islam, saya hanya ingin disaksikan oleh teman-teman dekat saja. Tetapi skenario Allah SWT tidaklah demikian. Sewaktu kami tiba di masjid, di sana sedang diadakan pengajian umum. Para jamaah sepakat memutuskan agar saya bersyahadat setelah pengajian usai. Jadilah peristiwa saya masuk Islam disaksikan oleh banyak peserta pengajian. Saya pun berislam di tengah-tengah calon saudara seiman saya. Ya, banyak mata yang menyaksikan peristiwa sakral itu...

Dahulu saya berpikir bahwa masuk Islam adalah hal yang sangat sulit. Namun saat saya berikrar menjadi muslim dengan bersyahadat, semua begitu mudah dan cepat! Dalam hati sempat bertanya tak yakin, "Benar nih, saya sudah masuk Islam?" Setelah selesai bersyahadat, semua peserta pengajian menghampiri dan memberikan selamat kepada saya. Salam dan pelukan sebagai ungkapan selamat, datang dari hadirin mendekap saya hangat. Di situlah akhirnya yakin bahwa saya sudah menjadi muslim. Alhamdulillah... Allahu Akbar.

Perasaan saya saat itu, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, haru biru meletup di kalbu. Tak terasa air mata mengalir begitu saja. Saya sadari, hanya  karena Allah Ta'ala saya bisa menjadi pengikut Rasulullah SAW. Alhamdulillah... sungguh saya bersyukur kepada Allah, mendapatkan karunia ini. Bahagia tiada terperi.

Sekembalinya saya di Jepang, sambil bertanya kepada teman-teman muslim di kampus, sedikit demi sedikit saya mulai belajar tentang agama Islam. Banyak kekhawatiran saya ketika mempelajari tentang agama ini. Namun satu persatu saya coba tempuh. Sekarang saya sangat bersyukur bisa menjadi muslim; pemeluk agama Islam. Dalam Al-Quran yang mulia itu Allah telah menyebutkan keberuntungan ini. "Hai orang-orang yang beriman, dan janganlah sekali-kali kamu  mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali-Imran: 102).

Sekarang saya sudah berkeluarga, telah menikah dengan seorang istri yang juga teman muslim di masa kuliah dulu. Berkah pun bertambah ketika dua putra dan seorang putri cantik telah hadir menemani kami. Berkat dukungannyalah saya bisa hidup di Jepang sebagai seorang muslim hingga hari ini. Walau saya tidak pernah mengungkapkannya dalam kehidupan sehari-hari, lewat forum ini saya ucapkan "Sungguh terima kasih atas dukunganmu belahan hidupku, istriku, Dewi."

*****

Catatan di atas adalah cerita pengalaman berislamnya pak Takanubo Muto, mualaf dari Jepang, yang disampaikan lalu diterjemahkan oleh mbak Rakhma Kumala Dewi (istri pak Takanobu Muto), dan dilengkapi oleh mbak Rose FN, dalam Hikari no Michi.

Rabu, 09 Desember 2009

Kuhamparkan Sajadahku di Negeri Samurai

Hidup sebagai seorang muslim di negara yang mayoritas penduduknya muslim, terkadang membuat muslim di negara tersebut kurang menyadari kenikmatan mereka dalam berislam. Mengapa begitu? Betapa tidak, segala fasilitas yang mendukung peribadatan maupun keperluan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang muslim begitu mudah didapatkan. Masjid ada di mana-mana. Masjid satu dengan masjid lainnya terkadang bahkan hanya dipisahkan oleh jarak yang tidak lebih dari 100 meter saja. Musholla bisa ditemui hampir di setiap tempat dan sarana umum. Ruang dakwah begitu terbuka lebar. Kita bisa dengan sangat mudah menemukan tempat-tempat pengajian. Segala kemudahan-kemudahan tersebutlah yang terkadang membuat seorang muslim menjadi tidak begitu menyadari bahwa semua itu merupakan bentuk nikmat yang Allah berikan.

Namun, kondisi seperti itu akan sangat berbanding terbalik dengan kehidupan para muslim yang ada di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Terlebih lagi bagi sebuah negara yang bernama Jepang. Jangankan yang penduduknya pemeluk agama selain Islam, tetapi justru yang namanya "agama" di negeri sakura nampaknya bukan sesuatu yang dianggap penting oleh penduduknya sendiri. Mungkin bagi teman-teman hal seperti itu bukan suatu hal yang wajar. Di mana setiap orang bisa sangat bebasnya menganut pemahaman bahwa agama bukan suatu hal yang penting. Tapi bagi masyarakat Jepang, hal tersebut memang sudah menjadi anggapan yang sangat umum. Oleh karena itu, jangan langsung percaya ketika ada orang Jepang yang memakai simbol-simbol agama tertentu dalam cara berpakaian mereka. Sebab itu belum tentu menggambarkan agama sebenarnya yang dia anut.

Sebagai contoh saja, ada seorang teman nihon jin yang se-kampus dengan saya saat itu, mengenakan kalung salib di lehernya. Saat itu yang ada dalam pikiran saya adalah langsung menebak bahwa dia seorang Nasrani. Tapi kemudian saya dibuat bingung ketika suatu hari dia pernah bercerita pada saya, bahwa dia baru saja mengikuti upacara dalam agama Shinto. "Lho... bagaimana bisa seseorang bisa memiliki dua agama sekaligus?" Begitulah pertanyaan yang ada di dalam benak saya. Tetapi setelah saya tanyakan, ternyata dia sendiri mengaku tidak punya agama. Kalung salib yang dia pakai tidak lebih hanya sebagai mode fashion semata, sedangkan Shinto hanya ia anggap sebagai suatu tradisi yang perlu ia jaga. Terus terang saja, pada awalnya saya dibuat bingung dan terkejut oleh perilaku teman saya tersebut. Tapi lama kelamaan, setelah saya bergaul dengan lebih banyak lagi orang Jepang, akhirnya saya menyadari bahwa sikap seperti itu memang sangat umum bagi masyarakat Jepang.

Ketika saya menginjakkan kaki untuk kedua kalinya di bumi Sakura, tahun 2005 yang lalu, saya tidak begitu menyadari "keanehan" seperti yang saya ceritakan di atas. Saya tahu bahwa Jepang adalah negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Hal lain yang saya tahu, Jepang adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Shinto atau Buddha. Walaupun sebelumnya saya pun pernah mendengar cerita dari ayah saya bahwa sebenarnya banyak orang Jepang yang tak beragama. Akan tetapi saat itu saya tidak langsung percaya. Saya baru percaya setelah akhirnya semua itu saya alami dan rasakan sendiri.

Dulu, sebelum keberangkatan ke Jepang, saya pernah punya sebuah tujuan yang saya anggap lebih mulia daripada sekedar menuntut ilmu di negeri Samurai itu. Tujuan mulia itu adalah tentu saja dakwah. Ikut ambil bagian dalam mensyiarkan agama Islam yang mulia di Jepang. Niat yang sejak awal begitu menggebu-gebu tersebut, akhirnya lama kelamaan harus banyak terbentur dengan segala keterbatasan. Persiapan mental yang sudah saya lakukan sebelum keberangkatan ternyata harus dihadapkan pada sebuah kenyataan betapa sulitnya menjadi seorang muslim di Jepang. Jangankan untuk berdakwah pada masyarakat Jepang, untuk memenuhi kebutuhan beribadah diri sendiri saja saat itu cukup menyulitkan.

Ketika di Indonesia, saya berusaha membiasakan diri untuk shalat tepat pada waktunya. Terkadang kalau sedang dalam perjalanan atau di luar rumah, dan saat itu sudah masuk waktu shalat, biasanya saya sempatkan untuk mencari masjid terdekat yang ada di sekitar tempat saya berada untuk shalat. Tetapi hal seperti itu hampir tidak dapat saya lakukan selama di Jepang. Rutinitas sebagai kenkyusei saat itu mengharuskan saya banyak bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Sewaktu-waktu saya harus mencari literatur dari satu perpusatakaan ke perpustakaan lain. Berpindah lab dari satu lab ke lab lain, dan seterusnya. Ada kalanya ketika sedang dalam perjalanan, tiba waktu shalat. Dalam kondisi seperti itu, tentu bukan suatu hal yang mudah untuk mencari tempat shalat seperti di Indonesia. Jangankan masjid, musholla saja tidak ada.

Kalau sudah dalam kondisi seperti itu, pada awalnya saya suka meng'qodo shalat. Walaupun sebenarnya dalam hati ada juga perasaan bersalah ketika saya meng'qodo shalat. Karena menurut saya, perjalanan yang saya tempuh tidak begitu jauh. Apalagi dengan sistem transportasi di Jepang yang sudah sangat tertib dan nyaman. Baik chikatetsu ataupun densha, semua jam perjalanannya sudah terjadwal dengan baik dan dijamin tidak akan terlambat. Sehingga memungkinkan bagi kita untuk memperhitungkan waktu perjalanan tanpa harus khawatir terlambat karena kendala transportasi seperti mogok atau macet. Saya khawatir kondisi saya pada saat itu tidak cukup dijadikan alasan untuk meng'qodo shalat. Dan jika sudah seperti itu, maka tidak ada cara lain selain tetap shalat walaupun bukan di tempat yang selayaknya untuk shalat.

Oleh karena itu, mulai saat itu saya selalu membawa sajadah yang saya simpan dalam ransel ke manapun saya pergi. Pengalaman pertama ketika saya harus shalat di tempat umum adalah ketika sedang jalan-jalan di sebuah koen. Saat itu sudah tiba waktu dzuhur. Sedangkan saat itu kondisinya sepertinya tidak memungkinkan jika saya harus shalat di masjid atau musholla. Karena di dekat sana tidak ada masjid atau musholla. Akhirnya saya putuskan untuk shalat di tempat itu juga. Saya berwudhu di toilet yang ada di tempat tersebut. Kemudian saya cari tempat yang bersih, tidak di tengah keramaian orang, dan memungkinkan untuk melakukan shalat dengan tenang. Setelah mengamati lingkungan sekitar, akhirnya dapat juga tempat yang cukup nyaman. Tempatnya di belakang papan besar yang bergambarkan peta lokasi koen tersebut. Saya hamparkan sajadah dan memulai shalat di sana.

Setelah sampai pada rakaat kedua, saya lihat di depan ternyata ada seorang anak kecil yang terus saja memperhatikan saya sambil menunjuk-nunjuk ke arah saya. Anak itu tetap saja terlihat walaupun saya sudah menundukkan pandangan ke tempat sujud. Karena merasa terganggu, maka saya pun menutup mata dan terus saja shalat. Tak lama kemudian ternyata anak itu datang lagi, kali ini dengan ibunya. Ternyata dia malah mengajak ibunya untuk melihat gerakan shalat yang saya lakukan. Walaupun tahu bahwa saya tengah jadi objek tontonan bagi mereka, saya berusaha tidak mempedulikan keberadaan mereka dan tetap shalat.

Karena terus merasa diawasi, akhirnya saya terus shalat sambil menutup mata sampai selesai. Setelah selesai dan mengucapkan salam, saya baru membuka mata, dan saya dapati mereka berdua ternyata sudah tidak ada di hadapan saya. "Alhamdulillah sudah shalat, lega..." Gumam saya dalam hati. Segera saja saya lipat sajadah dan memasukkannya kembali ke dalam ransel.

Ketika saya keluar dari balik papan peta lokasi yang besar itu, ternyata anak kecil dan ibu itu masih ada di bagian depan papan. Saya pun tersenyum pada mereka berdua. Ketika saya hendak pergi, sang ibu malah memanggil saya.

"Maaf, apakah saya bisa bertanya sedikit?" Kata si ibu.

"Oh... silahkan, ada apa?" Jawab saya.

"Begini, perkenalkan ini anak saya, namanya Taro, dia tadi bertanya pada saya tentang yang Anda lakukan di balik papan tadi, saya tidak bisa menjawabnya, tapi Taro sangat ingin tahu apa yang Anda lakukan. Saya khawatir memberikan jawaban yang salah pada anak saya. Jadi bisakah Anda menjelaskan gerakan apa yang Anda lakukan tadi di balik papan itu?" Tanya sang ibu.

Saya pun tersenyum mendengar pertanyaan si ibu tadi. Lalu saya jawab, "Tadi saya sedang shalat."

"Shalat? apa itu shalat?" Ibu itu balik bertanya dan nampak kesulitan menyebutkan kata "shalat" dengan lidah Jepangnya.

Kemudian saya berusaha menjelaskan kepada ibu tersebut semampunya yang saya bisa. Saya katakan bahwa shalat adalah ibadah yang harus dilakukan oleh orang beragama Islam, sama seperti ketika ibu melakukan upacara Shinto. Si ibu pun akhirnya mengerti apa yang tadi saya lakukan dan dia pun menjelaskan pada anaknya seperti yang saya katakan.

Begitulah... menyikapi perlakuan seperti itu memang dibutuhkan sikap yang hanif (lurus) dan ahsan (baik). Sebab anggapan mereka yang menyatakan bahwa shalat adalah gerakan-gerakan yang aneh, boleh jadi dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang shalat itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang bijaksana dari kita sendiri untuk menghadapinya. Jangan sampai perlakuan seperti itu malah menjadikan kita malu untuk shalat di tempat umum jika memang sudah waktunya shalat. Sebab semakin sering orang Jepang (nonmuslim) melihat kita shalat, insya Allah lama kelamaan mereka pun akan semakin mengerti akan keharusan tersebut.

Ini hanya sebuah catatan kecil yang ingin saya sampaikan pada teman-teman semua. Pada intinya, janganlah karena suatu alasan yang tidak terlalu mendesak, maka kita melalaikan shalat. Shalat bisa di mana saja dan kapan saja, tentunya selama memenuhi syarat sahnya shalat. Jadi bersyukurlah bagi kita yang hidup di negara mayoritas muslim. Di mana berbagai kemudahan fasilitas beribadah bisa kita dapatkan. Tidak seperti saudara-saudara kita yang saat ini tengah hidup sebagai muslim di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

*****

Kamus mini:

1. Nihon jin : Orang Jepang asli
2. Senpai : Senior / kakak kelas
3. Kenkyusei : Mahasiswa riset
4. Chikatetsu : Kereta bawah tanah (subway)
5. Densha : Kereta rel biasa
6. Koen : Taman kota

Selasa, 08 Desember 2009

Bulan Desember... bulan dimana orang-orang terdekat dalam hidupku banyak yang ulang tahun. Biarin ngabisin duit banyak buat beli kado juga. Yang penting mereka senang! Hohoho...

Kuil Ryohoji, Sebuah Kuil Shinto Bergaya Anime




Entah karena anak muda di Jepang sudah pada malas untuk pergi ke kuil/ vihara (temple) atau karena alasan lain, sebuah vihara yang berada di Tokyo, Jepang sedikit merubah penampilannya.

Untuk lebih menarik anak muda disana, Ryohoji Temple yang dibangun pada abad 16, telah menggabungkan unsur anime yang sangat digemari para Otaku (penggila anime/ teknologi).

Mereka memasang papan iklan dengan gambar anime bahkan membuat web yang sangat bernuansa anime untuk menarik para generasi muda untuk datang.

Di setiap akhir minggu, mereka juga menggelar bazar yang juga berbau anime dan dari semua kerja keras tersebut, ternyata saat ini, Ryohoji Temple sudah mulai banyak dikunjungi para anak muda, terutama bagi para pecinta anime. :-)

Perkembangan sebuah kuil yang mencoba mengikuti jaman bukan saja baru kali ini terjadi sebelumnya kami juga pernah membahas tentang sebuah kuil di Jepang yang akan “memberkati” gadget supaya terhindar dari malapetaka. :-)

Sumber foto & berita ada di: http://ryohoji.jp/top.html

Workshop Kepenulisan Kerjasama FLP Jepang - PPI Kyoto

Start:     Dec 19, '09 09:00a
Ingin tahu bagaimana teknik menulis karya fiksi/nonfiksi? ingin tahu juga bagaimana cara agar karya kita bisa menembus media?

FLP Jepang dan PPI Kyoto dengan bangga mempersembahkan workshop Kepenulisan. Kami mendatangkan pembicara dari Indonesia, Asma Nadia (Penulis novel dan cerpen ternama) dan Clara Rondonuwu (Redaktur Media Indonesia). Adapun pelaksanaannya :

Tanggal : 19- 20 Desember 2009
Tempat : Wood Composite Hall, Kyoto University-Uji Campus.
Waktu : 9:00 ~ 19:00
Biaya : Gratis (bento makan siang atau malam optional, 1 box =500 yen)


untuk detail informasi bisa diklik http://www.ppi-kyoto.org/index.php?option=com_content&view=article&id=866&Itemid=391

Ayo buruan daftar!

Kontak:
Lisman Suryanegara (08053596839, l_suryanegara(at)yahoo.com)
Sunu Hadi (09044291137, lazuardi_fuma(at)yahoo.com)