Tampilkan postingan dengan label hikmah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hikmah. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Oktober 2010

Tinggalkan Karier Anda dan Jadilah Seorang Ibu Rumah Tangga

Ternyata inspirasi bukan lah sebuah hal yang sulit dicari, bahkan seorang dosen pun dapat membuat cerita yang begitu menginspirasi

kami...

 

Waktu itu, datang seorang mahasiswi kepada seorang dosen, dia menghampirinya dengan wajah yang muram, kemudian berkata, "Pak,

beasiswa Program Magister dan Doktor saya lolos".

 

Hanya itu saja kata-kata yang keluar dari mulutnya, tanpa diikuti ekspresi apapun dari wajahnya... mengingat di luar sana berjuta - juta orang memimpikan pencapaian ini.

 

Sang dosen tertegun, kemudia dia berkata, "Bagus donk dek, kamu bisa bikin bangga banyak orang, dan itu merupakan jalan hidup yang sangat baik. Lalu apa yang membuat kamu terlihat bimbang dek."

 

Akhirnya mahasiswi itu bercerita kepada sang dosen. "Pak, sekolah hingga S2 dan S3 merupakan cita-cita saya sejak kecil, ini adalah mimpi saya, tidak terbayangkan rasa bahagia saya saat memperoleh surat penerimaan beasiswa ini.... Tapi pak, saya ini akhwat, saya wanita, dan saya bahagia dengan keadaan ini.. Saya tidak memiliki ambisi besar, saya hanya senang belajar dan menemukan hal baru, tidak lebih.. Saya akan dengan sangat ikhlas jika saya menikah dan suami saya menyuruh saya untuk menjadi ibu rumah tangga.. Lalu, dengan semua keadaan ini, apa saya masih harus sekolah?? saya takut itu semua menjadi mubazir, karena mungkin ada hal lain yang lebih baik untuk saya jalani."

 

Pak dosen pun terdiam, semua cerita mahasiswinya adalah logika ringan yang sangat masuk akal, dan dia tidak bisa disalahkan dengan pikirannya... Dosen itu pun berfikir, memejamkan mata, menunggu Allah SWT membuka hatinya, memasukkan jawaban dari pertanyaan indah ini...

 

Dan jawaban itu datang kepadanya, masuk ke dalam ide nya.... Pak dosen berkata seperti ini kepada mahasiswinya.. "Dek, sekarang

bertanyalah kepada hati kecil mu, apa dia masih menginginkan dirimu untuk melanjutkan pendidikan ini hingga puncak nanti.." ..

 

Sang mahasiswi bingung, dia menunduk , air mata turun dari kedua matanya, seakan dia merasakan konflik hati yang sangat besar ... yang saling ingin meniadakan..

 

Dosen itu melanjutkan nasehatnya.. "Dek, saya ingin bertanya kepadamu, kapan pertama kali engkau berhadapan dengan seorang S3 dan mendapat ilmu darinya?"

 

"Sejak saya kuliah di ITB , Pak." Jawab sang gadis.

 

Kemudian dosen itu melanjutkan ,"Ya dek, betul, saya pun demikian, saya baru diajar oleh seorang lulusan S3 semenjak saya kuliah di kampus ini.. Tapi dek, coba adek fikirkan, bahwa saat engkau memiliki anak, maka orang pertama yang akan menyapih rambut anakmu adalah seorang lulusan S3. Orang yang pertama mengajaknya berjalan adalah seorang ilmuwan tinggi, dan sejak dia mulai membaca, dia akan dibimbing dan dijaga oleh seorang Doktor. Itulah peranmu sebagai ibu nanti, apakah engkau bisa membayangkan betapa beruntungnya anak manusia yang akan kau lahirkan nanti."

 

itulah jawaban Allah SWT melalui pak dosen.... Mahasiswi itu tersadar dari konflik panjangnya, dan ia tersenyum bahagia, sangat bahagia, air matanya menjadi air mata haru, dan ia berdiri, mengucapkan terima kasih nya kepada sang dosen, dan berkata ,

 

"Pak, terima kasih, akan saya lanjutkan pendidikan ini hingga tidak satupun puncak lagi yang menghalangi saya."

 

Betapa hidup itu sangat berarti, dan jadikan ia bermakna.. Bukan uang yang nanti akan membuatmu bahagia, tetapi rasa syukur mu lah yang akan menjadi kebahagiaan yang hakiki,.


*) Berdasarkan cerita dari Dr. Hermawan Dipojono. Lecturer of Physics Engineering, ITB.

Minggu, 07 Februari 2010

Sejuta Cinta untuk Guruku, Ustadz Saiful Islam Mubarak

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh...
Surat ini aku buat sebagai tanda penghormatan kepada guruku.
Telah beruraian cinta dan kerinduan yang mendalam ketika aku tuliskan ini.
Kepada sesosok pribadi yang telah begitu ikhlas menghiasi taman ketaqwaan.

Teruntuk seorang murobbi yang telah mengambil jalan jihad dengan mengajarkan Al-Quran dalam sebuah darul ilmi.
Mungkin hanyalah sebuah khayalan semu jika mengharapkan agar surat ini sampai langsung ke tanganmu.
Sehingga membuatku hanya mampu untuk menuliskannya di sini.

Ustadz...
Aku hanya ingin mengurai kembali kisah yang pernah kita lalui.
Aku dan teman-teman, dimana engkau menjadi pembimbing kami.
Engkau pribadi yang serius.
Sesekali engkau bercanda. Namun candaan itu sangat menggambarkan canda Rasulullah Muhammad SAW.

Ustadz...
Dulu aku masih terbata-bata dalam membaca Al-Qur'an.
Aku sering merasa malu dengan teman-temanku, karena saat itu aku merasa bacaan qur'anku yang paling buruk.
Lalu seorang kawan mengajakku untuk belajar cara membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar kepadamu.
Di sana aku memulai dengan pelajaran tahsin yang masih tingkat paling dasar.
Engkau mengajarkan aku dengan penuh khidmat.
Terkadang engkau marah ketika aku mulai tidak serius untuk belajar.
Tapi aku tahu, marahmu itu sebenarnya adalah ekspresi cinta seorang guru kepada muridnya.

Ustadz...
Dulu aku juga seorang yang sangat sedikit hafalan Qur'annya.
Jangankan Juz 'Amma, surat Al-Adhiyat yang pendek saja aku tidak hafal.
Suatu saat aku pernah dikejutkan oleh salah seorang binaanku.
Ketika aku tanya, ternyata dia sudah hafal empat belas juz.
Masya'allah... aku malu sekali.
Bagaimana mungkin seorang kakak mentor seperti aku lebih sedikit hafalan qur'annya daripada adik binaannya.
Aku pun bertanya kepada adik binaanku itu.
Siapa yang mengajarimu sampai bisa hafal empat belas juz saat masih kelas 1 SMA begini?
Sambil senyum ringan dia pun menjawab, "Ustadz Saiful Islam Mubarok".
Subhanallah... lagi-lagi aku mendengar nama baikmu sebagai penjaga Al-Qur'an.

Ustadz...
Mungkin masih ingat terakhir kali kita bertemu, sebelum aku pergi menuntut ilmu dan kita dipisahkan oleh jarak.
Saat itu engkau memimpin acara MABIT di masjid kita.
Malam yang begitu sunyi kita ramaikan dengan lantunan tadarus Al-Qur'an.
Selanjutnya engkau mulai berceramah.
Suaramu sangat khas.
Datar, hampir tidak ada intonasi.
Sedikit bercanda, serius, namun sangat berbobot isinya.
Kemudian di sepertiga malam terakhir engkau mengimami kami untuk shalat Qiyamullail.
Sebelas raka'at shalat kita selesaikan dalam tempo tiga jam.
Di tiap raka'at engkau membaca surat yang begitu panjang, dua juz banyaknya.
Saat itu, lantunan suara bacaan suratmu sesekali terhenti karena isak tangismu.
Tak jarang aku pun mendengar isak tangis para jama'ah yang saat itu sedang shalat.
Engkau menangis.
Aku menangis.
Mereka menangis.
Kita semua menangis sebagai bentuk kerendahan diri di hadapan Tuhan yang Maha Menggenggam setiap desah nafas.

Ustadz...
Aku tahu saat ini engkau tidak lagi tergabung dalam sebuah jama'ah yang bernama Partai Keadilan Sejahtera.
Keputusan para qiyadah telah memberhentikanmu sebagai salah satu mujadid dakwah dalam jama'ah itu.
Aku tidak berhak mengatakan ini sebagai suatu ketidakadilan.
Sebab sesungguhnya engkau dan para qiyadahlah yang punya wewenang menjelaskan.
Mungkin hafalan Qur'anku dan amalan harianku tidak sebaik para qiyadahku.
Namun aku tahu betul cara memperlakukan seorang ulama yang menjadi teladanku dalam mencintai Al-Qur'an, membacanya, juga menghafalkannya.
Apa pun yang engkau alami saat ini, engkau tetap orang yang sangat terhormat bagiku.
Engkau guru, sekaligus orangtua bagiku.

Ustadz...
Aku masih ingat kata-katamu dalam pertemuan rutin mingguan kali itu.
Tercatat rapi dalam buku catatan milikku.
Engkau mengatakan bahwa satu-satunya ikatan di antara sesama muslim adalah ikatan berdasarkan ketaqwaan kepada Allah.
Ikatan ini bukan ikatan darah dan nasab; bukan ikatan tanah air dan bangsa; bukan ikatan kaum dan marga; bukan ikatan warna kulit dan bahasa; bukan ikatan ras dan suku; juga bukan ikatan profesi dan status sosial.
Gerakan, jama'ah, atau organisasi hanyalah sebuah alat.
Tidak lebih dari itu.
Boleh berbangga dengannya, tapi tidak layak ia menggantikan posisi loyalitas kita kepada Islam sendiri.

Ustadz...
Sebagai seorang murid aku hanya bisa berdoa untukmu.
Semoga Allah tetap melimpahkan segala berkah dan rahmat-Nya ke atasmu.
Sungguh setiap ucapan yang baik, doa yang tulus, rintihan yang jujur, air mata yang menetes penuh keikhlasan, dan semua keluhan yang menggundahgulanakan hati adalah hanya pantas ditujukan ke hadirat-Nya.

Maka perkenankanlah aku menjelang dini hari ini untuk menengadahkan kedua telapak tanganku.
Menjulurkan lengan penuh harap.
Mengarahkan terus tatapan mataku ke arah-Mu untuk memohon pertolongan.

Ya Allah...
Gantikanlah kepedihan ini dengan kesenangan.
Jadikan kesedihan itu awal kebahagiaan.
Sirnakan rasa takut ini menjadi rasa tentram.
Ya Allah...
Dinginkan panasnya qalbu dengan salju keyakinan,
dan padamkan bara jiwa dengan air keimanan.

Tuangkan dalam jiwa yang bergolak ini kedamaian.
Dan ganjarlah dengan kemenangan yang nyata.
Wahai Rabb...
Tunjukkanlah pandangan kebingungan ini kepada cahaya-Mu.
Bimbinglah sesatnya perjalanan ini ke arah jalan-Mu yang lurus.
Dan tuntunlah orang-orang yang menyimpang dari jalan-Mu merapat ke hidayah-Mu.

Kami berlindung kepada-Mu dari setiap rasa takut yang mendera.
Hanya kepada-Mu kami bersandar dan bertawakal.
Hanya kepada-Mu kami memohon, dan hanya kepada-Mu lah semua pertolongan.
Cukuplah Engkau sebagai Pelindung kami, karena Engkaulah sebaik-baik Pelindung dan Penolong.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh...


Minggu, 13 Desember 2009

Mengubah Cemburu Menjadi Energi Positif

Cemburu, dalam bahasa Arab dikenal sebagai ghoirah dan dalam bahasa Inggris disebut jealousy. Menurut saya, kalaupun seseorang merasakan perasaan tersebut merupakan suatu gejala yang fitrah, wajar, dan alamiah dari seseorang sebagai rasa cinta, sayang, saling memiliki, melindungi (proteksi) dan peduli satu sama lain.

Membicarakan hal yang satu itu, membuat saya teringat kisah-kisah asmara dan romantisme kehidupan keluarga Rasulullah bersama istri-istrinya dahulu. Dikisahkan, istri Rasulullah, Aisyah Radiallahuan pun pernah merasa cemburu kepada suaminya. Dalam sebuah riwayat pernah diceritakan. Pada suatu malam Aisyah pernah ditinggal Rasulullah. Aisyah menyangka bahwa Rasul sedang pergi ke rumah istri beliau yang lain. Kemudian oleh Aisyah diselidiki. Setelah diselidiki, ternyata Rasulullah sedang ruku atau sujud sambil berdoa: "Maha suci Engkau dan Maha Terpuji Engkau, tiada sesembahan yang benar melainkan Engkau. Maka Aisyah pun berkata: "Sungguh-sungguh Anda (Rasul) dalam keadaan satu keadaan (ibadah), sedang saya dalam keadaan lain (digoda oleh rasa cemburu)." Riwayat hadits ini shahih lho, diriwayatkan oleh Muslim: I/351-352; Abdul Baqi, An-Nasi'i VII/72, ath-Thayalisi 1405 dan lainnya.

Ah... tapi tunggu dulu, bukankah itu adalah kisah kecemburuan seorang Aisyah kepada Rasulullah? Seorang lelaki mulia yang memang telah sah menjadi suaminya. Memang, ketika perasaan cemburu itu datang, ia tidak pernah memandang apakah itu terjadi di antara sepasang suami-istri atau bukan. Rasa cemburu bisa datang dan dialami siapapun. Bahkan saya pun pernah merasa cemburu dan merasa dicemburui. Namun terkadang saya juga suka merenung. Sering terlintas dalam benak saya beberapa hal terkait perasaan yang satu itu. Seperti misalnya, apakah memang layak seseorang merasa cemburu kepada orang lain, sementara belum ada ikatan pernikahan satu sama lain. Berkaca pada kisah Aisyah dan Rasulullah di atas, saya menganggap wajar jika Aisyah merasa cemburu terhadap Rasulullah, sebab bukankah beliau memang suaminya. Ketika seorang pria dan wanita saling berikrar setia dalam suatu ikatan pernikahan, dimana Allah telah menjadi saksinya, maka secara otomatis kedua belah pihak (suami dan istri) seakan telah secara resmi melakukan transformasi hak atau kewenangannya satu sama lain. Maksudnya, sang wanita telah memiliki hak atas sang pria karena telah menjadi istrinya. Begitu juga sebaliknya, sang pria memiliki hak atas sang wanita, karena telah menjadi suaminya. Sehingga keduanya layak untuk cemburu ketika ada suatu hal atau kewenangan yang merasa telah terlanggar atas salah satu atau keduanya.

Pikiran semacam itu terkadang muncul karena bagi saya, pada kenyataannya, cemburu tidak jarang telah mendapatkan stigma dan konotasi yang selalu negatif sebagai bentuk ekspresi dan refleksi yang tidak pada tempatnya, saling curiga, dan sebagainya. Terlebih jika itu terjadi pada orang yang memang belum memiliki hak atas orang yang ia cemburui.

Saya dapat mengerti, bahwa perasaan itu datang dikarenakan kondisi kejiwaan dan pikiran yang dipicu oleh beberapa faktor. Tapi dari sekian banyak faktor, biasanya faktor cinta dan rasa ketertarikan lah yang paling utama menjadi pemicu. Lalu kalau sudah terjadi seperti itu, lantas apakah dilarang dalam agama? Menurut saya tidak menjadi salah jika kecemburuan itu ditempatkan sesuai pada tempatnya. Tidak secara berlebihan atau bahkan malah akan merugikan pihak-pihak tertentu yang sebetulnya tidak terkait atau berkepentingan. Dalam sebuah buku yang pernah saya baca (saya lupa judulnya), ditulis oleh Imam Ibnul Qayyim, beliau menganjurkan kepada para muslimah untuk meniru karakteristik bidadari surga yang berhati suci. Sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya: “dan untuk mereka di dalamnya terdapat istri-istri yang suci.” (QS. Al Baqarah: 25). Yaitu dengan membangun kejiwaan yang bersih dari perasaan cemburu yang tidak pada tempatnya. Terlebih jika cemburu itu ditujukan pada seseorang yang belumlah menjadi halal baginya.

Namun, sebenarnya tidak semua cemburu itu membawa kesengsaraan dan tidak terpuji. Sebab rasa cemburu merupakan suatu potensi kejiwaan yang bila dipakai dan dikelola pada tempatnya secara wajar justru akan menjadi kontrol positif dan bukan menjadi sikap negatif yang tidak produktif. Wanita yang paling mulia dan yang paling luhur cita-citanya adalah mereka yang paling pencemburu pada tempatnya. Maka sifat seorang beriman yang cemburu (ghoyyur) pada tempatnya adalah sesuai dengan sifat yang dimiliki oleh Rabb-nya. Siapa yang mempunyai sifat menyerupai sifat-sifat Allah, maka sifat tersebut akan membawanya ke dalam perlindungan Allah dan mendekatkan diri seorang hamba kepada rahmat-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat cemburu dan orang-orang beriman juga memilikinya. Adapun rasa cemburu Allah ialah ketika melihat seorang hamba yang mengaku dirinya beriman kepada-Nya melakukan sesuatu yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Nasa’i).

Nah... jadi untuk mengubah rasa cemburu itu menjadi kumpulan energi positif, mengapa tidak kita ubah saja perspektif kecemburuan itu menjadi lebih luas, tidak terbatas hanya pada cemburu yang berlatarbelakang perasaan cinta lawan jenis semata. Sebab jika cara pandangnya sempit, hanya berkutat karena masalah cinta saja, biasanya itu cenderung akan membawa pada kemudharatan daripada manfaat. Tidak sedikit mereka yang merasakan cemburu kepada orang yang ia cintai, pada akhirnya malah membawanya kepada perasaan benci, iri, dan dengki pada pihak ketiga yang mungkin saja sebenarnya dia tidak tahu apa-apa duduk permasalahan yang sebenarnya. Misalnya, ada seorang pria cemburu kepada wanita yang ia cintai, sementara mereka berdua bukanlah pasangan suami-istri. Sang pria cemburu karena ia memiliki perasaan bahwa wanita pujaannya itu merasa lebih tertarik pada pria lain dibanding dirinya. Akhirnya sang pria yang cemburu itu pun malah menjadi benci, iri, dan dengki pada pria yang "dikagumi" oleh wanita yang ia cintai tadi. Sementara pria yang dikagumi oleh wanita tadi, sebenarnya tidak memiliki kepentingan apa pun dalam hubungan mereka berdua, bahkan tidak pernah tahu tentang perasaan "kagum" dari sang wanita tadi.

Yang jelas, ketika ada seseorang yang merasa kagum atas orang lain, tentulah itu dikarenakan orang tersebut memiliki nilai lebih. Entah apa pun itu, yang pasti ia memiliki banyak hal yang postif dan mungkin jarang atau tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka mengapa perasaan cemburu itu tidak kita arahkan saja agar menjadi penyemangat kita supaya lebih baik dari orang yang memiliki nilai lebih tersebut. Secara hubungan antar sesama manusia, tidak ada yang lebih berperan terhadap kualitas diri seseorang melainkan diri orang itu sendiri. Lingkungan, keluarga, teman-teman, atau orang-orang terdekat dalam hidup mungkin bisa menjadi pendorong, tetapi pada akhirnya tetap kita sendiri yang harus berbuat dan mengambil keputusan, bukan?

Ikhlas lah ketika kita tahu ada orang yang lebih bernilai dari kita. Lalu jangan menjadi pencemburu kalau hanya berhenti sampai jadi pencemburu semata. Akan tetapi segera sambut rasa cemburu tadi dengan usaha keras yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas diri kita. Membuat kita jadi lebih bernilai dari orang lain. Bersikaplah cemburu kepada sifat-sifat positif dari orang lain, bukan pada pribadi orangnya. Sebab, kalaupun rasa cemburu itu bermula dan akhirnya bermuara kepada sebuah perasaan yang bernama cinta, pada hakikatnya seseorang tentu ingin mendapat yang terbaik bagi dirinya. Namun keinginan itu tentunya juga harus diimbangi dengan upaya yang dapat menjadikan dirinya seberkualitas seperti orang yang ingin dia dapatkan itu. Sangatlah tidak adil ketika seseorang menginginkan yang terbaik bagi dirinya, sementara ia sendiri tidak pernah berusaha membuat dirinya menjadi yang terbaik.

Rabu, 11 November 2009

Indahnya Menjaga Lisan, Berkatalah yang Baik atau DIAM

“Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasululloh bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam…” (HR Mutafaqun ‘alih).

Lidah tak bertulang, namun ketajamanannya dapat menembus hingga lubuk hati yang paling dalam. Luka yang diakibatkannya pun seringkali sulit untuk bisa dilupakan dalam waktu yang singkat. Lidah atau lisan, adalah salah satu nikmat yang diberikan kepada kita oleh Allah swt. Selain sebagai salah satu indera perasa (indera pengecap). Lidah atau lisan juga sebagai salah satu bagian dari ‘alat’ komunikasi kita. Dibandingkan dengan alat komunikasi yang lain seperti telinga kita cenderung lebih sering menggunakan lidah.

Artinya dibandingkan mendengar kita lebih menyukai berbicara. Dari hadis di atas, Rasululloh mensinyalir bahwasanya lisan dapat membawa ‘kerusakan’ yang besar kalau kita tidak dapat menjaganya. Untuk itu Rasululloh mendahulukannya dengan kata-kata, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir…”. Dengan kata lain menjaga lisan itu adalah hal yang harus benar-benar kita perhatikan. Sehingga dimasukan dalam salah satu ciri atau tanda berimannya seseorang. Dalam realitanya pun kita dapat melihat seberapa besar bahaya yang diakibatkan oleh ‘kejahatan lisan’.

Persaudaraaan, kekerabatan, pertemanan, perceraian, bahkan pertumpahan darah pun bisa terjadi karena bahaya yang dihasilkan oleh lisan. Bahaya tersebut antara lain adalah berupa hasud, fitnah, celaan, dan yang lainnya. Terlebih bagi kaum wanita yang sangat rentan sekali dengan kebohongan berita atau ‘gosip’. Sudah menjadi rahasia umum ‘ngegosip’ adalah ‘hobi’ para wanita, baik itu ibu-ibu maupun yang masih lajang. Seringkali kita tidak pernah sadar akan kemadhorotan yang besar dan merugikan bagi orang lain juga diri kita sebagai akibat dari tidak bisanya kita menjaga lisan.

Dalam kitab-Nya yang suci Al-Qur’anul Karim Allah swt berfirman, “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) di sisi Allah…” (QS Al-Baqoroh [2]:217). Ini memperkuat betapa pentingnya memperhatikan lisan kita agar tidak melukai perasaan orang lain, terlebih sampai menimbulkan kemadhorotan yang lebih besar. Kita juga tak asing dengan sebuah pepatah bijak yang mengatakan, “Diam itu emas’. Dan itu memang sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Islam.

Pada zaman sekarang menjaga lisan sudah sering tidak kita perhatikan lagi. Bahkan parahnya hal tersebut dijadikan sebagai barang komoditi. Seperti infotainment yang menyajikan acara ‘ghibah’ atau gosip. Membicarakan hal pribadi atau kejelakan orang lain, terlepas dari siapa dan apa yang dibicarakannya. Dengan tidak melihat kemadhorotannya yang lebih besar sebagai akibat dari tidak menjaga lisan mereka. Di sisi lain, lagi-lagi Islam menuniukkan kesempurnaannya sebagai agama yang diridhoi di sisi-Nya. Sampai hal yang kecil dan sering dianggap remeh ternyata Islam sangat begitu memperhatikannya.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Wallahu ‘alam bi showab.

Sumber: di sana dan di situ

Selasa, 27 Oktober 2009

Bukan Air Mata Murahan

Ibnu Qayyim berpendapat bahwa menangis itu ada 10 macam, yaitu:

   1. Menangis karena kasih sayang & kelembutan hati.
   2. Menangis karena rasa takut.
   3. Menangis karena cinta.
   4. Menangis karena gembira.
   5. Menangis karena menghadapi penderitaan.
   6. Menangis karena terlalu sedih.
   7. Menangis karena terasa hina dan lemah.
   8. Menangis untuk mendapat belas kasihan orang.
   9. Menangis karena mengikut-ikut orang menangis.
  10. Menangis orang munafik (pura-pura menangis).

"..dan bahwasanya DIA lah yang menjadikan orang tertawa dan menangis." (An Najm: 43)

Jadi, Allah lah yang menciptakan ketawa dan tangis, serta menciptakan sebab terjadinya. Banyak air mata telah mengalir di dunia ini. Sumbernya dari mata mengalir ke pipi terus jatuh ke bumi. Mata itu kecil namun ia tidak pernah kering meneteskan airnya setiap hari tanpa putus-putus. Seperti sungai yang mengalir ke laut tidak pernah berhenti. Bahkan kalaulah air mata itu ditampung, mungkin banjirlah dunia ini.

Apakah menangis itu tercela atau terpuji? Ada tangisan yang sangat dicela, umpamanya meratapi mayat dengan meraung dan memukul-mukul dada atau merobek-robek pakaian.

Ada pula tangisan yang sangat terpuji, yaitu tangisan karena menginsafi dosa-dosa yang lalu atau tangis karena takut akan azab dan siksa Allah.

Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah mata seseorang meneteskan air mata kecuali Allah akan mengharamkan tubuhnya dari api neraka. Dan apabila air matanya mengalir ke pipi maka wajahnya tidak akan terkotori oleh debu kehinaan, apabila seorang dari suatu kaum menangis, maka kaum itu akan dirahmati. Tidaklah ada sesuatupun yang tak mempunyai kadar dan balasan kecuali air mata. Sesungguhnya air mata dapat memadamkan lautan api neraka."

Nabi Adam a.s. menangis selama 300 tahun tanpa mendonggak ke langit karena merasa takut terhadap dosa yang telah ia lakukan. Dia bersujud di atas gunung dan air matanya mengalir di jurang. Lalu Allah mendengar dan menerima taubat Adam dan mewahyukan, "Hai Adam sesungguhnya belum Aku pernah menciptakan air lebih lezat daripada air mata taubat mu!."

Janganlah menangis kalau tak tercapai cita-cita, sebab bukan kah Tuhan yang telah menentukannya?

Janganlah menangis karena menonton film hindustan atau drama.

Janganlah menangis karena cinta tak berbalas, sebab mungkin dia bukanlah jodoh yang telah Tuhan tetapkan.

Jangan menangis kalau uang kita hilang di jalanan, sebab mungkin kita kurang bersedekah.

Janganlah menangis kalau tidak dinaikkan pangkat, yakin lah rezeki itu adalah pemberian Tuhan.

Maka...

Simpanlah air mata - air mata tangisan itu semua sebagai bekal untuk menginsafi di atas segala kelalaian yang telah melanda diri, segala dosa-dosa yang berupa bintik-bintik hitam yang telah mengkelamkan hati hingga sukar untuk menerima hidayah dari Allah SWT. Seru lah air mata itu dari persembunyiannya di balik kelopak mata agar ia menetes membasahi dan mencuci hati agar ia putih kembali. Semoga ia juga dapat melebur dosa-dosa dan akan mendapat ampunan-Nya jua.

Junjungan Mulia bersabda "Ada 2 biji mata yang tak tersentuh api neraka, mata yang menangis di waktu malam hari karena takut kepada Allah SWT dan 2 biji mata yang menjaga pasukan fi sabillah di waktu malam."

"Di antara 7 golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah di hari qiamat, yaitu seseorang yang berzikir sendirian lalu mengenang tentang kebesaran Allah SWT lalu bercucuran air matanya."

"Jika tubuh seseorang hamba gemetar karena takut kepada Allah, maka berguguran lah dosa-dosanya bak gugurnya dedaunan dari pepohonan kering."

Berkata Salman Al Faarisi r.a "Aku dibuat menangis atas 3 perkara:

   1. Berpisah dengan Rasulullah SAW dan para sahabat-sahabat.
   2. Ketakutan seorang yang perkasa tatkala melihat malaikat Israil datang mencabut nyawanya.
   3. Aku tidak tahu di akhirat kelak aku akan di perintahkan untuk ke surga atau neraka.

Air mata itu tanda rahmat Tuhan. Rasulullah SAW bersabda: "Jagalah mayat ketika kematiannya & perhatikanlah 3 perkara:

   1. Apabila dahi nya berkeringat.
   2. Airmatanya berlinang.
   3. Hidungnya keluar cairan seperti ingus.

karena hal-hal tersebut menandakan rahmat Allah SWT untuk si mayat. (riwayat dari Salman al Faarisi)

Sucikanlah 4 hal dengan 4 perkara: "Wajahmu dengan linangan air mata keinsafan, lidahmu basah dengan berzikir kepada Penciptamu, Hatimu takut dan gemetar kepada kehebatan Rabbmu, dan dosa-dosa yang silam disulami dengan taubat kepada Dzat yang Memiliki mu."