Jumat, 28 Mei 2010

Nasib Ilmuwan Indonesia, Terasing di Negeri Sendiri.

Hanya ingin curhat sebagai seorang mahasiswa yang sedang menunaikan tugas belajar negeri asing. Saya seringkali mendapat "cibiran" dari saudara sendiri sebangsa setanah air di dalam negeri. Entah kenapa, tetapi saya merasa ada saja yang memandang sinis bahwa saya seolah-olah sudah tidak peduli lagi dengan negara asal, Indonesia. Beberapa waktu yang lalu ada seseorang yang mengatakan bahwa saya hanya mencari keuntungan dan berorientasi hanya kepada uang. Kalau pun uang bukan lah sesuatu yang layak disebut ukuran, tapi memang kenyataannya sangat berbanding terbalik dengan kemampuan yang kita punya. Oke... mungkin uang atau materi hanya sesuatu yang klise untuk dibahas. Betapa tingginya idealisme mereka yang "mencibir" saya tidak peduli dengan nasib bangsa sendiri hingga berpaling ke lain hati. Hanya satu hal yang saya lihat, mereka bisa berkata begitu tentu karena tidak ada dalam posisi yang sama seperti yang saya rasakan. Siapa pun orangnya, akan sangat mudah mengkritik, dengan kritikan yang terkesan menjatuhkan karena mereka tidak ada dalam sudut pandang yang sama dengan orang yang mereka kritik. Contoh sederhananya adalah seperti penonton/pengamat sepak bola. Begitu asiknya mereka mengomentari kiper bodoh, wasit goblok, striker tidak becus ketika tim jagoan mereka kebobolan goal. Sementara jika mereka sendiri bermain di lapangan belum tentu lah mereka bisa melakukan se-idelal yang mereka bicarakan!

Sekedar sharing saja supaya wawasan kita terbuka (sedikit). Tahukah kamu berapa gaji seorang profesor yang sudah berdinas sekitar 40 tahun, dihitung sejak pertama kali mengajar di perguruan tinggi? Mereja ternyata hanya menerima gaji (pokok) kurang lebih Rp 2,7 juta per bulan, atau lebih sedikit tergantung kepada ukuran keluarga yang masih berada di bawah tanggungannya. Sekiranya sang profesor masih punya tanggungan anak yang kuliah satu atau dua orang, kamu bisa membayangkan betapa sulit baginya untuk mengatur budget rumah tangga. Atau, bahkan tanpa berutang, dapur bisa berhenti berasap, karena pendapatan setiap bulan benar-benar berada dalam sistem ''menghina''.

Bandingkan dengan seorang anggota DPRD di daerah yang punya PAD (Penghasilan Asli Daerah) tinggi, yang menerima gaji sekitar Rp 40 juta per bulan. Tidak peduli apakah anggota ini punya ijazah asli atau palsu yang belum ketahuan, pendapatannya sama. Sehingga pantas lah sangat banyak orang berlomba-lomba ingin jadi wakil rakyat, bahkan ada juga yang sampai menghabiskan uang ratusan hingga milyaran rupiah demi mewujudkan obsesi mereka.

Untuk menandingi perdapatan per bulan anggota DPRD yang (katanya) terhormat ini, seorang profesor harus bekerja sekitar 15 bulan, baru imbang. Inilah panorama kesenjangan yang amat buruk yang berlaku sampai sekarang di Indonesia. Jangankan dengan wakil rakyat dengan PAD tinggi, di daerah minus sekalipun, dengan pendapatan sekitar Rp 5 juta per bulan, seorang profesor botak tidak bisa menandingi.

Memang, ada sejumlah kecil profesor atau doktor yang punya penghasilan tambahan yang cukup tinggi sebagai konsultan, dosen di luar negeri, merangkap jadi anggota DPR, komisaris atau penasihat bank, ikut proyek, atau mengajar di beberapa tempat, dan lain-lain. Tetapi, standar gaji mereka, ya seperti tersebut di atas itu.

Dengan kenyataan seperti itu, mana mungkin seorang profesor punya karier akademik yang menjulang tinggi. Dana untuk beli buku sudah tersedot untuk kepentingan survival, sekadar bertahan hidup untuk kebutuhan sehari-hari sekeluarga.

Tulisan ini tidak ingin memberi kesan bahwa seorang profesor itu perlu diberi perhatian khusus. Sama sekali tidak. Tetapi makhluk yang satu ini, apalagi mereka yang mendapatkan Ph.D di luar negeri, adalah pekerja keras dengan membanting otak selama bertahun-tahun. Tugasnya kemudian adalah untuk turut "mencerdaskan kehidupan bangsa" pada tingkat perguruan tinggi.

Pemegang Ph.D setelah pulang ke Tanah Air tentu harus berpikir keras lebih dulu bagaimana agar rumah tangga bisa bertahan. Bagaimana pun itu adalah hal yang sangat wajar, karena merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan lebih prioritas. Urusan beli buku referensi terpaksa menjadi agenda nomor sekian. Padahal tanpa buku dan jurnal, seorang pemegang PhD pasti akan kehabisan stok, tidak bisa meng-update (menyegarkan) ilmunya. Akibatnya, buku-buku terbitan puluhan tahun yang lalu dikunyah lagi untuk bahan perkuliahan.

Dengan kenyataan seperti ini, mana mungkin orang dapat berharap kualitas perguruan tinggi kita akan terbang tinggi dibandingkan dengan mitranya di negara tetangga saja. Kualitas pendidikan kita sudah terlalu jauh di bawah standar, termasuk perguruan tinggi yang biasa disebut sebagai pusat keunggulan.

Dengan rendahnya mutu lulusan kita, akan sangat kecil kemungkinan bangsa ini akan mampu bersaing pada tingkat regional untuk mengisi lapangan kerja yang terbuka lebar sebenarnya. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris yang sangat lemah bagi lulusan kita menambah lagi daftar buruk kita untuk mampu bersaing di dunia kerja untuk perusahaan-perusahaan asing di kawasan Asia Tenggara, misalnya.

Sebagai perbandingan, di Malaysia gaji seorang profesor penuh (full professor) hampir dua kali lipat gaji anggota parlemen federal. Di Indonesia gaji seorang anggota DPR pusat sekitar 19 kali lipat gaji seorang profesor penuh per bulan. Maka, orang tidak boleh kaget lagi jika dunia akademik dan keilmuan kita semakin suram dan buram dari waktu ke waktu, sementara dunia politik kita semakin berkibar tetapi kumuh, ditambah lagi masih saja sebagian politisi DPR kita merangkap jadi calo proyek.

Masalah materi atau finansial hanya sebagian kecil dari fenomena betapa banyaknya hal "lucu" yang terjadi di negeri kita ini.

Sepulang studi umumnya para ilmuwan itu sering frustrasi karena pekerjaan mereka tidak ditopang peralatan dan orientasi ke depan. Kalau tidak percaya, silahkan berkunjung ke beberapa lembaga penelitian di Indonesia, fasilitas kerja kurang dan tidak ada dana penelitian, kasihan mereka.

Padahal tahun lalu saja anggaran China untuk mengembangkan bidang iptek mencapai 2 persen dari anggaran nasional mereka, sedangkan Indonesia hanya 0,5 persen. Jangan tanya Jepang dan Korea, mereka di atas 2 persen.

Pengiriman calon ilmuwan dan ilmuwan yang sudah jadi ke luar negeri sangat strategis dalam upaya mendongkrak daya saing bangsa sehingga kelak menjadi motor penggerak dan inovator di berbagai bidang. Namun, ilmu yang diperoleh anak bangsa di luar negeri itu tidak ada artinya jika mereka tidak diberi kesempatan berperan dalam masyarakat. Sehingga akhirnya segelintir ilmuwan ada yang kecewa dengan iklim penelitian di dalam negeri sehingga mereka lebih tertarik untuk tinggal dan bekerja di luar negeri. Tetapi, itu hanya sebagian kecil. Pada sisi lain, hal itu juga memungkinkan bagi anak bangsa terbaik untuk mengharumkan nama negeri kita di luar negeri. Toh, diam-diam mereka tetap menjalin komunikasi dengan sesama ilmuwan di dalam negeri dan memungkinkan transformasi teknologi kok.

Jadi bagaimana sekarang? Tidak malu? Pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi untuk Indonesia, sebab peradaban bangsa ini baru sampai sebatas itu. Akan tenggelamkah kita? Semoga tidak! Anak bangsa yang masih punya hati nurani harus bangkit menolong perahu republik ini agar tidak semakin dipermalukan dunia. Semoga saya, Anda, kita semua putra putri bangsa yang saat ini sedang mengemban tugas mulia belajar di negeri orang, menjadi bagian dari pendobrak perubahan di negeri kita tercinta.

11 komentar:

  1. jadi inget salah satu episode kick andy yang membahas tentang ini
    benar2 mencengangkan

    BalasHapus
  2. yah,,, begitu lah kenyataannya... miris yah... :(

    BalasHapus
  3. nasibnya yg gak mantap. hehehhe....

    BalasHapus
  4. *kenapa saya tidak bisa mengklik postingan blogmu yang lain ya, teman.
    settingannya kah?
    atau koneksi internet saya yang lamban kah?

    BalasHapus
  5. koneksinya kali?
    semua postingan saya settingan "everyone" kok

    BalasHapus
  6. Sippo. Koneksi saya yang lamban. Terima kasih :D

    BalasHapus
  7. Sippo. Koneksi saya yang lamban. Terima kasih :D

    BalasHapus
  8. terus semangat pak...meskipun saya belum pernah punya gelar apa2 sarjana pun belum ada...tapi saya pernah merasakan hal itu...ada apa dengan negeri tercinta selanjutnya??lanjutkan pak...

    BalasHapus
  9. aamiin...
    Pendidikan sepertinya bukan hal utama di negara ini.

    BalasHapus
  10. Menarik sekali membaca tulisan Anda. Mungkin para akademisi di Indonesia mesti hidup selibat agar tidak dibebani membiayai keluarga dan bisa fokus ke pengembangan ilmu pengetahuan. Jika saja pemerintah sadar bahwa para peneliti itu jasanya setara dengan para pahlawan. Haaah... Mantan pejuangpun hidup tunggang langgang di negeri ini...

    BalasHapus