Sabtu, 21 November 2009

Seni Hidup Susah

"Mendidik seorang anak yang setelah dewasa siap menjadi orang miskin jauh lebih sulit daripada mendidik anak yang setelah dewasa siap menjadi orang kaya." Begitulah kalimat yang pernah diucapkan ayah saya. Sampai sekarang, rasanya masih terngiang-ngiang sekali dalam benak saya kalimat tersebut saat pertama kali keluar dari mulut ayah. Waktu itu adalah ketika saya kelas 6 SD. Saat itu mungkin saya belum cukup dewasa, tapi saya cukup bisa mencerna perkataan ayah saya. Sesaat setelah mendengarkan kalimat itu keluar dari lisan ayah, seolah saya telah mendapatkan jawaban atas apa yang sering saya alami di masa yang sudah lalu. Ya... saya kira itulah sebabnya kenapa selama ini ayah mendidik saya cukup "keras".

Mulai dari kecil saya tidak pernah dibiasakan mendapatkan segala sesuatu yang saya inginkan dengan cara mudah, walaupun saya tau ayah pasti dapat memberikannya dengan mudah kalau beliau mau. Terkadang saya pun sering mengeluh dan bercerita pada ibu saya, kok kenapa kalau ingin ini ingin itu rasanya sulit sekali memintanya. Apalagi kalau keinginan itu yang bersifat hiburan atau kesenangan semata. Tapi lain halnya kalau soal pendidikan, ayah pasti tanpa pikir panjang akan langsung mengeluarkan isi dompetnya begitu saya memintanya. Sebagai anak-anak, waktu itu, tentu saya tidak pernah terfikir bahwa itu adalah pola pendidikan yang ayah terapkan pada saya dan adik-adik saya. Sering kali perasaan yang saya rasakan saat itu hanya sebuah kekecewaan semata tanpa ada nilai pendidikan yang bisa saya ambil. Tapi seiring berjalannya waktu, semakin bertambah dewasanya usia saya, maka saya pun semakin bisa berfikir dan merenungi setiap kejadian yang saya alami di masa lalu itu. Sampai akhirnya saya sadar betul bahwa sebenarnya itu semua hanya cara ayah saya dalam mendidik anak-anaknya, persis seperti ungkapan kalimat yang saya tulis di awal paragraf di atas.

Sebagai contoh saja, ketika saya SD, saya tidak pernah diantar-antar dengan orangtua sebagaimana layaknya anak-anak, kecuali 6 bulan pertama saat saya pertama kali masuk SD, saya sering diantar jemput oleh ibu. Dari rumah saya harus jalan kaki sampai depan komplek rumah yang jaraknya sekitar 800 meter. Lalu dilanjutkan naik angkot yang jaraknya sampai sekolah kira-kira 8 KM. Padahal saat itu mungkin bisa saja ayah saya mengantar saya sebelum berangkat ke kantor dengan mobilnya. Saya diberi uang saku secukupnya bahkan waktu itu terbilang kecil jika dibandingkan dengan uang saku teman-teman saya yang lain. Bayangkan! Saya hanya diberi Rp. 500,-. Untuk naik angkot pulang pergi Rp. 200,-. Uang segitu saat itu memang bernilai cukup besar, dan sisa uang Rp. 300,- masih bisa untuk jajan makanan kecil. Itulah sebabnya sejak kecil saya jadi suka cari akal bagaimana caranya bisa dapat uang jajan lebih tanpa harus minta orangtua. Ya waktu itu yang terfikir adalah dengan cara jualan dan mengajari teman pelajaran sekolah dengan imbalan traktir jajan dari mereka.

Pengalaman-pengalaman seperti itu terus saya alami sampai saya SMA, bahkan saat kuliah. Saya tidak pernah merasa bahwa apa yang saya peroleh itu didapat dengan cara yang mudah. Semuanya serba harus dengan perjuangan di tengah fasilitas yang terbatas. Tapi efek dari pendidikan ayah saya tersebut, dapat saya rasakan manfaatnya dari waktu ke waktu. Hingga akhirnya saya menjadi sangat bersahabat dengan yang namanya kesulitan dan kegagalan. Bahkan saat ini terkadang saya malah suka menyengaja diri saya agar terlibat dalam kesulitan, walaupun sebenarnya saya tau cara yang mudahnya. Misalnya, ketika SMA saya mulai diberikan ayah sebuah motor untuk transportasi pulang pergi dari sekolah, tempat les, dan rumah. Tapi walaupun begitu, saya malah lebih sering memarkir motor saya di garasi rumah, dan berangkat ke sekolah atau tempat les dengan berjalan kaki dan naik angkot. Beberapa teman saya menganggap saya aneh dengan tingkah yang seperti itu. Tapi itulah cara saya dalam mendidik diri saya sendiri. Menurut kamu, apakah sebenarnya yang ada di benak para pecinta alam yang sering naik turun gunung, menyusuri sungai, bahkan tidur hanya beralaskan rumput dan beratapkan langit saja. Mengapa mereka mau mempersulit diri mereka sendiri dengan tidur di hutan belantara yang serba gelap, udaranya dingin, bahkan tidak lepas dari ancaman binatang buas. Sementara mereka sebenarnya bisa saja tidur di atas kasur yang empuk, atau nonton TV sambil mengemil makanan ringan. Mengapa mereka malah memilih yang sulit daripada segala kemudahan? Pemikiran seperti itulah yang sering saya gunakan. Justru dari kesulitan yang dihadapilah manusia akan belajar. Dia tidak akan pernah belajar sesuatu yang berharga jika dia terbiasa dengan segala sesuatu yang enak dan mudah dia dapatkan.

Coba kita perhatikan sebuah pohon. Terpaan angin kencang dengan mudah akan dapat menumbangkan pohon-pohon yang rapuh dan berakar dangkal. Tetapi sebaliknya, terpaan angin kencang yang sama justru akan memperkuat pohon-pohon yang kokoh dan berakar dalam. Dalam kehidupan sehari-hari, 'terpaan angin kencang' berupa masalah, kegagalan, beban kehidupan, konflik, dan berbagai hal negatif lainnya dapat dengan mudah menghancurkan orang-orang rapuh yang tidak memiliki semangat juang dan menjalani hidup tanpa tujuan. Sebaliknya, kesulitan-kesulitan yang sama justru akan dapat memperkuat orang-orang yang memiliki semangat juang tinggi, dengan tujuan hidup yang pasti, serta keteguhan hati yang kuat.

Setiap orang pastilah pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya, kondisi–kondisi genting  atau bahkan  saat–saat kritis dalam hidupnya. Kebanyakan orang sangat tidak menyukai atau bahkan membenci hal tesebut. Namun sering tanpa kita sadari bersama, bahwa justru hanya dalam keadaan kritis seperti itulah diri kita baru dapat mengeluarkan kemampuan yang sesungguhnya dan tumbuh menjadi individu yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Setiap orang pastilah pernah mengalami hal tersulit dalam hidupnya, tetapi yang membedakan antara orang gagal dan berhasil adalah respon atas tindakan dari hal yang mereka alami. Jika kita dapat mengambil manfaat atas hal buruk atau kritis yang menimpa kita, maka niscaya kita kelak akan menjadi sukses di kemudian hari. Saya memang belum merasa telah ada pada suatu titik yang disebut kesuksesan. Sebab pada hakikatnya yang layak menilai seseorang sukses atau tidak tentulah harus orang lain, bukan diri sendiri. Tapi setidaknya, lewat apa yang sudah ayah saya ajarkan kepada saya. Kemudian serangkaian usaha yang saya lalukan sesuai dengan pandangan hidup saya tentang hidup itu sendiri, telah menjadikan saya seorang Dimas yang sekarang ini.

8 komentar:

  1. beruntung amat c, ayahnya masih mendidik begitu...

    BalasHapus
  2. bersusah dulu senang kemudian.. pengalamannya menarik mas..

    BalasHapus
  3. oh begitu ya..
    kadang hilma klo mau dapetin swatu dari bapa, suka pake alasan akademik,,hehehhh..
    malah sempet bikin proposal segala,,tapi ga dikasih, coz ga terlalu nyambung ama akademik...
    tapi ada juga yg
    filosofi pohon,,Hilma menyukainya ^_^v
    tfs kang..

    BalasHapus
  4. Slm kenal sebelumnya. Tulisan kakak memberi saya kekuatan utk berusaha lbh keras lg. Trima kasih. Two tumbs up 4u.

    BalasHapus