Minggu, 07 Februari 2010

Sejuta Cinta untuk Guruku, Ustadz Saiful Islam Mubarak

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh...
Surat ini aku buat sebagai tanda penghormatan kepada guruku.
Telah beruraian cinta dan kerinduan yang mendalam ketika aku tuliskan ini.
Kepada sesosok pribadi yang telah begitu ikhlas menghiasi taman ketaqwaan.

Teruntuk seorang murobbi yang telah mengambil jalan jihad dengan mengajarkan Al-Quran dalam sebuah darul ilmi.
Mungkin hanyalah sebuah khayalan semu jika mengharapkan agar surat ini sampai langsung ke tanganmu.
Sehingga membuatku hanya mampu untuk menuliskannya di sini.

Ustadz...
Aku hanya ingin mengurai kembali kisah yang pernah kita lalui.
Aku dan teman-teman, dimana engkau menjadi pembimbing kami.
Engkau pribadi yang serius.
Sesekali engkau bercanda. Namun candaan itu sangat menggambarkan canda Rasulullah Muhammad SAW.

Ustadz...
Dulu aku masih terbata-bata dalam membaca Al-Qur'an.
Aku sering merasa malu dengan teman-temanku, karena saat itu aku merasa bacaan qur'anku yang paling buruk.
Lalu seorang kawan mengajakku untuk belajar cara membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar kepadamu.
Di sana aku memulai dengan pelajaran tahsin yang masih tingkat paling dasar.
Engkau mengajarkan aku dengan penuh khidmat.
Terkadang engkau marah ketika aku mulai tidak serius untuk belajar.
Tapi aku tahu, marahmu itu sebenarnya adalah ekspresi cinta seorang guru kepada muridnya.

Ustadz...
Dulu aku juga seorang yang sangat sedikit hafalan Qur'annya.
Jangankan Juz 'Amma, surat Al-Adhiyat yang pendek saja aku tidak hafal.
Suatu saat aku pernah dikejutkan oleh salah seorang binaanku.
Ketika aku tanya, ternyata dia sudah hafal empat belas juz.
Masya'allah... aku malu sekali.
Bagaimana mungkin seorang kakak mentor seperti aku lebih sedikit hafalan qur'annya daripada adik binaannya.
Aku pun bertanya kepada adik binaanku itu.
Siapa yang mengajarimu sampai bisa hafal empat belas juz saat masih kelas 1 SMA begini?
Sambil senyum ringan dia pun menjawab, "Ustadz Saiful Islam Mubarok".
Subhanallah... lagi-lagi aku mendengar nama baikmu sebagai penjaga Al-Qur'an.

Ustadz...
Mungkin masih ingat terakhir kali kita bertemu, sebelum aku pergi menuntut ilmu dan kita dipisahkan oleh jarak.
Saat itu engkau memimpin acara MABIT di masjid kita.
Malam yang begitu sunyi kita ramaikan dengan lantunan tadarus Al-Qur'an.
Selanjutnya engkau mulai berceramah.
Suaramu sangat khas.
Datar, hampir tidak ada intonasi.
Sedikit bercanda, serius, namun sangat berbobot isinya.
Kemudian di sepertiga malam terakhir engkau mengimami kami untuk shalat Qiyamullail.
Sebelas raka'at shalat kita selesaikan dalam tempo tiga jam.
Di tiap raka'at engkau membaca surat yang begitu panjang, dua juz banyaknya.
Saat itu, lantunan suara bacaan suratmu sesekali terhenti karena isak tangismu.
Tak jarang aku pun mendengar isak tangis para jama'ah yang saat itu sedang shalat.
Engkau menangis.
Aku menangis.
Mereka menangis.
Kita semua menangis sebagai bentuk kerendahan diri di hadapan Tuhan yang Maha Menggenggam setiap desah nafas.

Ustadz...
Aku tahu saat ini engkau tidak lagi tergabung dalam sebuah jama'ah yang bernama Partai Keadilan Sejahtera.
Keputusan para qiyadah telah memberhentikanmu sebagai salah satu mujadid dakwah dalam jama'ah itu.
Aku tidak berhak mengatakan ini sebagai suatu ketidakadilan.
Sebab sesungguhnya engkau dan para qiyadahlah yang punya wewenang menjelaskan.
Mungkin hafalan Qur'anku dan amalan harianku tidak sebaik para qiyadahku.
Namun aku tahu betul cara memperlakukan seorang ulama yang menjadi teladanku dalam mencintai Al-Qur'an, membacanya, juga menghafalkannya.
Apa pun yang engkau alami saat ini, engkau tetap orang yang sangat terhormat bagiku.
Engkau guru, sekaligus orangtua bagiku.

Ustadz...
Aku masih ingat kata-katamu dalam pertemuan rutin mingguan kali itu.
Tercatat rapi dalam buku catatan milikku.
Engkau mengatakan bahwa satu-satunya ikatan di antara sesama muslim adalah ikatan berdasarkan ketaqwaan kepada Allah.
Ikatan ini bukan ikatan darah dan nasab; bukan ikatan tanah air dan bangsa; bukan ikatan kaum dan marga; bukan ikatan warna kulit dan bahasa; bukan ikatan ras dan suku; juga bukan ikatan profesi dan status sosial.
Gerakan, jama'ah, atau organisasi hanyalah sebuah alat.
Tidak lebih dari itu.
Boleh berbangga dengannya, tapi tidak layak ia menggantikan posisi loyalitas kita kepada Islam sendiri.

Ustadz...
Sebagai seorang murid aku hanya bisa berdoa untukmu.
Semoga Allah tetap melimpahkan segala berkah dan rahmat-Nya ke atasmu.
Sungguh setiap ucapan yang baik, doa yang tulus, rintihan yang jujur, air mata yang menetes penuh keikhlasan, dan semua keluhan yang menggundahgulanakan hati adalah hanya pantas ditujukan ke hadirat-Nya.

Maka perkenankanlah aku menjelang dini hari ini untuk menengadahkan kedua telapak tanganku.
Menjulurkan lengan penuh harap.
Mengarahkan terus tatapan mataku ke arah-Mu untuk memohon pertolongan.

Ya Allah...
Gantikanlah kepedihan ini dengan kesenangan.
Jadikan kesedihan itu awal kebahagiaan.
Sirnakan rasa takut ini menjadi rasa tentram.
Ya Allah...
Dinginkan panasnya qalbu dengan salju keyakinan,
dan padamkan bara jiwa dengan air keimanan.

Tuangkan dalam jiwa yang bergolak ini kedamaian.
Dan ganjarlah dengan kemenangan yang nyata.
Wahai Rabb...
Tunjukkanlah pandangan kebingungan ini kepada cahaya-Mu.
Bimbinglah sesatnya perjalanan ini ke arah jalan-Mu yang lurus.
Dan tuntunlah orang-orang yang menyimpang dari jalan-Mu merapat ke hidayah-Mu.

Kami berlindung kepada-Mu dari setiap rasa takut yang mendera.
Hanya kepada-Mu kami bersandar dan bertawakal.
Hanya kepada-Mu kami memohon, dan hanya kepada-Mu lah semua pertolongan.
Cukuplah Engkau sebagai Pelindung kami, karena Engkaulah sebaik-baik Pelindung dan Penolong.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh...


9 komentar:

  1. perpisahan dari jamaah bukan berarti kita berhenti bersaudara...

    BalasHapus
  2. sudah, lewat jalur struktur. tidak bisa diungkap lewat jalur umum, karena itu berarti mengumbar aib orang lain.

    BalasHapus
  3. betul kata k' Akmal, sudah ada bayanat, tapi tidak untuk umum. bagi yg belum dapat, silahkan hubungi "cabang" terdekat.

    BalasHapus
  4. Ok..ok... di sini isunya tidak terlalu santer soalnya...

    BalasHapus
  5. isu nya lebih heboh dari kenyataannya...
    masyarakat yg tidak tahu kondisi internal bersikap seolah tau semua
    sudah lah... jangan menghakimi. . . ini yg terbaik... maha suci Allah yg masih menutupi aib beliau...

    BalasHapus
  6. umm jd bingung
    sbnernya bliau di apain ama jamaah kang?-.-'

    BalasHapus
  7. Maaf ini anda yang menulis? Bagus sekali

    BalasHapus