Jumat, 19 Februari 2010

Berani Kaya, Berharap Masuk Surga

Berdasarkan Al-Quran dan Hadits, harta merupakan sesuatu yang baik. Namun karena salah penafsiran, sebagian umat Islam cenderung menjauhinya. Banyak ayat Al-Quran yang menuturkan hal tersebut. Di antaranya ayat, "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu (QS Al-Baqarah 172). Rasulullah pun sering mendorong para sahabat untuk mendapatkan rezeki yang halal, bahkan beliau sendiri mencontohkan dengan berbisnis sejak umur 12 tahun hingga 37 tahun. Maka, berdasarkan Al-Quran dan Hadits tidak seharusnya kita menjauhi harta. Bila menjauhinya, berarti bertentangan dengan dua pandangan agama Islam.

Lalu kenapa masih ada orang yang seolah mengharamkan kekayaan? Sebab ada penafsian/pemahaman yang salah terhadap konsep dalam Islam dan terhadap kehidupan Rasulullah SAW sendiri. Sementara ini Rasul dipersepsikan hidup sederhana (kalau tidak mau dikatakan miskin). Ini memang bagian etape kehidupan beliau, tapi yang perlu kita perhatikan juga ada etape dimana beliau adalah Rasul yang kaya raya. Karena selain memiliki sumber income dari Baitul Maal, yang sangat besar, beliau juga mempunyai harta dari banyak sumber. Mungkin kita akan terkejut bila mengkaji nilai harta Rasulullah bila dikurskan dengan nilai uang sekarang. Orang yang mengatakan Rasul miskin, mungkin juga tidak pernah mengeksplor bagaimana beliau berdagang, menjadi saudagar sukses dengan jiwa entrepreneurship yang tinggi. Nah, etape miskin dan kaya ini memang tak lepas dari profilnya sebagai Rasul yang harus memberi teladan kepada umatnya. Bagaimana harus bekerja keras, bersedekah, mensyukuri nikmat, dan lainnya.

Sebagian ulama juga ada yang menganjurkan untuk menjauhi dunia dan selalu qona'ah sebagai kesempurnaan beragama. Menjauhi duniawi, dengan memfokuskan diri pada akhirat disebut "zuhud". Sehingga kita harus hidup sangat sederhana, kalau perlu pas-pasan, hanya memenuhi apa yang kita butuhkan saja. Pengertian kesederhanaan itu benar, tetapi jika zuhud ditafsirkan kita tidak boleh kaya mungkin tidak tepat. Islam sama sekali tidak pernah menyuruh orang untuk miskin, dan Islam tidak pernah sama sekali melarang orang untuk kaya. Yang ada adalah menyuruh orang untuk kaya secara halal dan melarang orang untuk miskin, karena miskin, keimanan kita bisa tergadai. Zuhud yang benar adalah bukan terkait dengan jumlah uang/harta, tetapi sikap kita terhadap uang/harta dan cara memperolehnya. Sehingga orang berzuhud harus mampu mengontrol uang atau hartanya agar tidak sampai masuk ke dalam hati, dalam arti mengganggu cinta kita kepada Allah dan ibadah kita. Tapi, kalau zuhud diartikan harus menjauhi dunia, sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa, karena justru kita sendiri adalah bagian dari dunia itu. Kita hidup di dunia, dan kita disuruh menjadi pemakmur dunia.

Lalu bagaimana dengan makna qona'ah yang sebenarnya? Sesungguhnya qona'ah merupakan posisi dimanapun tingkat kekayaan kita berada, kita harus ridlo dengan pembagian Allah itu. Umpamanya kita dapat dua juta, alhamdulillah saya ridlo dengannya, tidak ngedumel apalagi ngomel kenapa cuma dikasih 2 juta ya? Saya qona'ah dengan pemberian Allah, tetapi itu tidak berarti kita harus berhenti di situ! Kesalahpahaman sekarang, qona'ah diartikan kalau sampai pada suatu posisi, tingkat kekayaan tertentu, maka kita harus berhenti. Seharusnya kita mengucapkan alhamdulillah saya dapat 2 juta, tapi saya harus bismillah untuk ke 4 juta. Setelah sampai 4 juta saya alhamdulillah, tapi saya harus bismillah lagi untuk sampai ke 7 juta, demikian seterusnya. Berarti kita tidak ngoyo dalam pengertian yang positif. Bisa Anda bayangkan, jika kita bersyukur pada empat, lalu naik ke tujuh, berarti kan ekonominya dinamis. Sebagai hamba yang masih ada tenaga, masih sehat, waktu masih ada, kenapa kita harus diam? Justru jika kita diam, berarti kita tidak bersyukur atas potensi yang Allah berikan.

Kemudian konsep sabar juga sering sekali disalahtafsirkan. "Sabar" selalu terkait dengan kondisi spiritual. Ada tiga jenis sabar: sabar dalam takwa, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam musibah. Di luar itu masih ada lagi, sabar dalam kemiskinan. Sabar dalam kemiskinan biasanya diartikan bahwa dunia ini seperti surganya orang kafir dan penjaranya kaum muslimin. Sehingga kita harus sabar dengan keadaan seperti ini. Pengertian seperti itu jelas saja salah. Justru sabar itu harus diartikan sebagai suatu kemampuan untuk bertahan, kemampuan kita untuk kepanaran saat berjualan, kemampuan untuk tetap optimis ketika melakukan marketing, sabar mencek produk kita agar kualitasnya terjamin. Sabar harus dijadikan energi untuk maju, energi untuk meningkatkan kualitas, energi untuk mengoptimalkan produktifitas kita, bukan sebagai kekalahan.

Ada juga yang beranggapan, kalau kita kaya dengan harta yang melimpah, bukankah kita nanti bisa dicap sebagai orang yang cinta dunia (hubbu dunya). Saya pun pernah dicap oleh beberapa orang seperti itu. Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada mereka yang telah berprasangka seperti itu kepada saya, harus saya katakan bahwa ternyata 99% dari mereka adalah justru orang-orang yang secara finansial memang berada di bawah saya. Jadi dari sana saya beranggapan, bahwa sebenarnya kondisi keterbatasan finansial yang berlaku pada mereka, juga sifat berprasangka buruk yang mereka lakukan justru sebenarnya disebabkan oleh pola pikir mereka sendiri. Diri mereka sendiri dan pemikiran mereka sendiri yang akhirnya malah memiskinkan diri mereka. Sehingga sebagai pelampiasan, mereka hanya bisa menuduh yang tidak-tidak kepada orang-orang yang memiliki potensi untuk bisa memiliki kelebihan daripada mereka.
 
Kalau saya justru beranggapan bahwa sifat hubbu dunya justru memang sifat alamiah manusia. Jadi kalau kita tidak cinta kepada dunia, berarti kita melawan kodrat. Siapa sih yang tidak cinta pada rumahnya, mobilnya, anaknya, istri, mereka juga bagian dari dunia. Mencintai dunia tidak salah, yang salah ada dua hal. Pertama, bila kita mendapatkannya tidak secara syar'iah. Kedua, hubbu dunya yang menjadikan kita lupa kepada Allah. Tetapi jika dengan harta ini justru kita mampu membayar zakat, bisa memberi wakaf, membangun pondok yatim piatu, memberantas buta huruf Al-Quran, ini kan bagus? Kita sholat di masjid seolah gratis, padahal masjid bisa berdiri tentu harus ada orang yang wakaf tanah. Nah, semuanya perlu uang kan?

Harta harus dilihat sebagai suatu instrumen pembangunan generasi, sebagai suatu infrastruktur pembangunan bangsa. Bila kita bayar pajak atau bayar zakat, akan menjadi jembatan, jalan-jalan, masjid, pompa air, sekolah, membuka lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan. Kalau orang miskin, tidak ada biaya untuk sekolah sehingga hanya bisa sekolah kalau dapat beasiswa. Orang miskin tidak bisa beli obat, kecuali dapat subsidi. Orang miskin pasti keterampilannya terbatas, karena tidak bisa bayar training, tidak bisa datang ke seminar, tidak bisa beli buku banyak-banyak. Jadi kalau satu generasi sudah miskin, maka dia akan bodoh dan tidak terampil, akhirnya generasi penerusnya akan miskin lagi. Walah... apakah tidak berbahaya tuh!

7 komentar: